"ing sakjeroning sepi kui ono ajaran luhur lan tumindak wicaksono kang dadi pinuju kabecikan-di dalam kerendahan hati itu ada ajaran luhur dan tindakan bijaksana yang menjadi tujuan kebajikan"

Selasa, 22 November 2011

Gaya Hidup Kontemporer (Sebuah Pengantar)

#SZ, Juli 2005
Era kontemporer memposisikan iklan tidak lagi sebagai sarana untuk menawarkan produk, tetapi—yang terpenting—menawarkan sebuah citra akan identitas kekinian yang mampu mengontrol apa yang harus dibeli. Iklan mampu menembus sebuah citra akan identitas kekinian yang mampu mengontrol apa yang harus dibeli. Iklan mampu menembus alam tidak sadar manusia sehingga tanpa proses kritis dan rasional, masyarakat mampu digiring pada sebuah kondisi yang sulit dibedakan antara yang rasional dan irasional, antara fiksi dan fakta, antara yang asli dan imitasi, antara yang nyata dan fatamorgana. Meminjam istilah psikoanalisis sebagai kondisi schizophrenia.

Menjadi tirani audio dan visual dalam keseharian masyarakat, iklan tampil di semua media massa. Iklan, mengutip Sut Jhally dalam karyanya Advertising as Religion: The Dialectic of Tecnology and Magic (1989), bahkan telah mengeser peran agama dalam memberi pengertian tentang kebahagian dan kehormatan diri. Iklan telah menjadi parameter legimitasi trade mark masa ini.

Hiperealitas iklan yang merupakan hasil dari simulasi yang dihadirkan secara kontinyu dengan bantuan perangkat-perangkat media massa menjadikan iklan kehilangan representasi realitas sosialnya. Iklan tidak lagi merujuk pada sebuah realitas apapun, tetapi merujuk pada dirinya sendiri sebagaimana Baudrillard sering mengatakan bahwa hiperealitas-lah yang sekarang menjadi realitasnya. Simulasi hadir dimana-mana, dari wilayah politik praktis, ekonomi, teknologi, bahkan jauh menembus ke wilayah-wilayah yang mungkin tidak terbayangkan pada zaman sebelumnya: ruang tidur. Modernitas memberikan ruang selebar-lebarnya bagi berlangsungnya berbagai simulasi. Pada titik yang sangat ekstrim, siapapun tidak akan sadar bahwa yang sedang terjadi hanyalah sebuah simulasi.

Dunia modern adalah dunia yang penuh kelimpahruahan. Semuanya hadir dalam sebuah sistem yang saling menciptakan ketergantungan satu sama lainnya. Sistem sosial yang layaknya sebuah kontrol terhadap subsistem-subsistemnya. Mode, fashion, mobil, dinner club, adalah lifestyle yang menjadi parameter-parameter yang  merongrong manusia untuk terus menerus mengejarnya. Lifestyle yang merupakan nilai-nilai material telah berhasil menembus dunia ide dan menyatukan manusia dari berbagai ras untuk berpikiran seragam. Apakah sekarang masih ada perbedaan dalam lifestyle antara orang Negro, Eropa, Asia Timur, Asia Barat, Amerika Utara, dan masyarakat Hispanik? Satu-satunya perbedaan hanya dalam tampilan fisik etnis, selebihnya adalah apa yang tampil di media massa.

Fenomena ini menciptakan fakta-fakta sosial yang oleh Emile Durkheim dibedakan dalam tiga karakteristik. Pertama, fakta sosial bersifat eksternal terhadap individu. Hal ini merupakan cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang memperlihatkan sifat patut dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar kesadaran individu. Kedua, bahwa fakta tersebut memaksa individu. Bagi Durkheim, individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh pelbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Selanjutnya, tulis Durkheim, tipe-tipe perilaku atau berfikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri. Ini tidak berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negatif atau membatasi seperti memaksa seseorang untuk berperilaku yang bertentangan dengan kemauannya. Sesungguhnya kalau proses sosialisasi itu berhasil, individu sudah mengendapkan fakta sosial yang cocok sedemikian menyeluruhnya sehingga perintah-perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan dengan kemauan individu.  Ketiga, bahwa fakta sosial itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat. Fakta sosial itu milik bersama dan bukan milik individu. Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya.

    Ketiga karakteristik fakta sosial ini –ekternalitas, paksaan, dan sifat  umum—bagi Durkheim menggambarkan tipe gejala yang menjadi pokok permasalahan dalam sosiologi.  Dalam konteks masyarakat kontemporer, tiga tipologi fakta sosialnya bisa dijadikan pintu masuk untuk menjelaskan budaya massa yang marak di paruh kedua abad duapuluh. Ekternalitas, merupakan kondisi ketika manusia tidak mampu melepaskan diri dari lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial mempunyai dampak yang sulit dihindari oleh individu. Sejalan dengan pemikiran Marx yang mengatakan bahwa manusia dibentuk oleh lingkungan sosialnya, Durkheim menegaskan bahwa manusia juga dibentuk oleh sistem sosialnya. Bahasa, ekonomi, profesionalitas, norma-norma, merupakan faktor-faktor eksternal yang mampu menembus alam tak sadar manusia. Paksaan, adalah bagaimana kemudian tangan-tangan tak terlihat menciptakan sebuah komoditi yang bisa diterima oleh semua kalangan. Kalau di zaman sebelum modern ada pembedaan antara kebudayaan populer dan kebudayaan elit, maka sekarang muncullah apa yang dinamakan sebagai budaya massa. Budaya massa adalah sebuah hasil dari melunturnya batas antara budaya elit dengan budaya popular. Budaya elit yang dimiliki kalangan atas adalah budaya eklusif yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan terbatas. Budaya pop/rakyat merupakan budaya yang tumbuh dari bawah. Ia adalah ekspresi otonom dan spontan rakyat kebanyakan yang dibuat oleh mereka sendiri, dan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri tanpa adanya pengaruh budaya elit (MacDonald,1957:60).  Budaya massa ditumbuhkan dari atas. Ia diproduksi oleh tenaga-tenaga teknis yang diperkerjakan oleh produsen, khalayaknya adalah konsumer-konsumer pasif, dimana partisipasi mereka terbatas pada pilihan membeli atau tidak membeli. Sepertinya manusia memang tidak dipaksa untuk mengkonsumsi, namun ia tidak sadar dengan simulasi tangan-tangan tak terlihat. Seolah-olah manusia tidak dipaksa, namun ia hanya diberi pilihan alternatif dalam mengkonsumsi. “Jika Anda tidak suka Ford, silakan memakai BMW”.  Apa yang dialaminya adalah sebuah hiperealitas dalam ruang simulakrum. Manusia harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar tidak dianggap ketinggalan zaman.  Maka orang beramai-ramai ikut dinner club, main golf, spa, ke salon. Atau ketika rambut Demi Moore tiba-tiba saja sangat populer seiring kesuksesannya membintangi film Ghost di awal dasawarsa 1990-an. Sifat Umum, adalah ketika semuanya menjadi wajar dan bisa diterima semua kalangan. Zaman sekarang, bukan hal yang aneh kalau laki-laki banyak yang suka berdandan, pergi ke salon, mandi lulur. Fenomena cowok metrosexual yang  menggemari jenis  perawatan tubuh seperti, hair care (perawatan rambut), skin care (kulit) yang bertumpu pada wajah, tooth care (gigi), body care (badan), serta hand and foot care (tangan dan kaki). Siapa sangka jika David Beckham, salah satu maestro sepak bola dunia, sering mengecat kuku jarinya dengan warna pink. Beckham, juga sering bertandang ke salon untuk melakukan facial, menicure, pedicure dan berganti potongan rambut. Bahkan, waktu yang diperlukan untuk berdandan jauh lebih lama dari istrinya. Selain itu, mantan kapten tim Manchester United ini juga tidak ragu mengenakan gaun istrinya kala di rumah. Ferry Salim, pemain sinetron sekaligus presenter papan atas di tanah air, selalu melindungi wajahnya dengan pelembab, termasuk krim mata sebelum bepergian. Ia pun mengoleksi parfum botol kecil sampai mencapai sekitar 3.500 botol. Produk-produk kosmetika yang berlabel “For Men” begitu mudah ditemui di toko-toko kosmetik. Dari shampo hingga parfum, dari sabun sampai eyeshadow.

    Gaya hidup merupakan bagian tak terpisahkan dari struktur sosial masyarakat modern. Menjadi sebuah satu kesatuan yang saling menopang dalam dunia modern. Gaya hidup menjadi ciri khas dari masyarakat modern. Manusia modern akan selalu punya lifestyle untuk melakukan tindakan komunikasi yang bersifat pertukaran simbol dengan masyarakatnya. Manusia mengidentifikasikan dirinya dengan perangkat-perangkat simbolik yang menjelaskan status sosial mereka. Modernitas kemudian dipahami sebagai gaya hidup yang menekankan penampilan luar sebagai parameter penilaian terhadap kapasitas manusia. Maka, untuk menjadi manusia  modern diperlukan atribut-atribut yang memberi kesan “kita adalah orang modern”. Modernitas hanya berujung pada sebuah tindakan konsumtif yang tidak produktif. David Chaney menjelaskan bahwa dalam dunia modern gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lainnya. Lebih jauh Chaney menegaskan bahwa: Oleh karena itu, gaya hidup membantu memahami (yakni menjelaskan tapi bukan berarti membenarkan) apa yang orang lakukan, mengapa mereka melakukannya, dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi dirinya maupun orang lain.

     Konsumerisme adalah implikasi lebih lanjut dari gaya hidup masyarakat modern. Proses konsumsi tidak hanya menjadi aktivitas perdagangan yang berdasarkan nilai guna dan nilai tukar. Namun konsumsi bergerak menuju sebuah proses pertukaran simbolik yang menciptakan status-status sosial tertentu. Era pra modern menempatkan perbedaan mencolok antara kaum borjuis dan rakyat jelata dalam hal konsumsi—namun di wilayah politik, hukum, dan lainnya juga. Namun perbedaan mencolok ini berangsur-angsur menghilang seiring terciptanya produksi massal dan murah. Mengutip McKendrik, Chaney menyebutkan tentang masyarakat Inggris abad ke-18 yang menjadi saksi lahirnya suatu masyarakat konsumen dan memfasilitasi suatu revolusi konsumen, dalam proses mengatasi hambatan-hambatan yang “menuntut perubahan sikap dan pemikiran, perubahan dalam kemakmuran dan standar kehidupan, perubahan dalam teknik komersial dan keahlian-keahlian promosi, atau bahkan terkadang perubahan hukum itu sendiri. Selanjutnya Chaney mengutip pendapat McKendrik dalam gaya yang argumentatif sebagai berikut:

Jika seseorang bertanya mengapa Inggris memuncukan preseden dalam revolusi ini, unsur pokok dalam jawaban McKendrik adalah penyebaran yang relatif sempit struktur sosial kontemporer. Pabrik-pabrik baru yang menghasilkan barang-barang konsumsi pada awalnya menjadikan kalangan elit sebagai sasaran, dan dukungan mereka amat penting bagi kreasi fashion populer, tetapi keuntungan yang sangat besar yang diperoleh sesudah itu adalah dengan memasarkan dan mendistribusikan tiruan-tiruan barang-barnag tersebut kepada khlayak umum. Dalam proses pembedaan kasta sosial yang kaku, dalam wajah dan dunia kehidupan yang telah terkungkung oleh konservatisme hukum-hukum kemewahan, di antara faktor-faktor lainnya, masih perlu dirampas kemurniannya. Dalam proses menciptakan peminat dari  berbagai kalangan melalui komersialisasi fashion, periklanan dan teknik-teknik pemasaran lainnya merupakan hal yang sangat penting.
Bukan kebetulan jika kemudian muncullah apa yang disebut sebagai budaya konsumen. Budaya konsumen merupakan sebuah budaya akibat melimpahnya komoditi. Membanjirnya komoditi atau benda-benda konsumsi merupakan sarana yang efektif  bagi manusia modern untuk melepaskan segala hasrat. Pemindahan dari satu kepuasan ke kepuasan lainnya. 
Kelebihan penyediaan benda-benda konsumsi tidak  bisa dianggap  tidak membawa masalah begitu saja. Pada masyarakat barat kontemporer kelebihan persediaan benda-benda konsumsi (benda-beda simbolik) serta tendensi ke arah kekacauan dan de-klasifikasi budaya memunculkan beberapa masalah budaya dan mempunyai implikasi yang lebih luas bagi konseptualisasi tentang hubungan antara budaya, ekonomi, dan masyarakat.
Mike Featherstone membagi budaya konsumen dalam tiga perspektif.  Pertama, budaya konsumen adalah imbas dari perkembangan pesat kapitalisme. Kedua, dalam perspektif sosiologis penggunaan benda-benda konsumsi menunjukkan pembedaan status sosial dan gaya hidup. Ketiga, merupakan  hasrat-hasrat berkonsumsi dan estetika.
Dalam perspektif ilmu ekonomi klasik, objek dari semua produksi adalah konsumsi melalui pemaksimalan kepuasaan konsumen dengan pembeliaan berbagai benda-benda konsumsi. Namun dari paradigma penganut neo-Marxist abad duapuluh (Sekolah Frankfurt), perkembangan ini dipandang sebagai situasi ke arah konsumsi massal yang terkendali dan dapat dimanipulasi. Perkembangan pesat produksi kapitalis terutama setelah pergantian ke abad duapuluh dan perluasan pasar dalam bentuknya  yang  ekpansif, memandang perlunya melakukan “pendidikan publik” melalui periklanan dan media yang lain agar menjadi konsumen.
Horkheimer dan Adorno berpendapat bahwa logika komoditas yang sama serta perwujudan rasionalitas instrumental dalam lingkup produksi tampak nyata dalam lingkup konsumsi. Pencarian waktu luang, seni dan budaya, secara umum tersaring  melalui industri budaya; penerimaan diarahkan oleh nilai tukar karena tujuan yang lebih tinggi, dan nilai-nilai budaya  dikalahkan pada logika proses produksi serta pasar. Nilai-nilai tradisional yang mencakup hubungan kehidupan domestik rumah tangga dan individu, harapan akan kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, pencarian hal-hal yang baru yang sangat berbeda, merupakan hasil dari budaya tinggi yang dimanipulasikan dalam bentuk budaya komoditi semu yang direproduksi secara besar-besaran untuk menghasilkan apa yang disebut  budaya massa.
Mike Featherstone menegaskan dari perspektif ini bahwa akumulasi barang telah mengakibatkan kemenangan nilai tukar, bahwa penghitungan rasional instrumental dari semua aspek kehidupan menjadi muungkin di mana semua perbedaan, tradisi budaya dan kuallitas yang esensial ditransformasikan ke dalam kuantitas (angka).
Pertanyaannya kemudian, apakah ini sekedar merupakan suatu budaya nilai tukar dan penghitungan rasionalitas instrumental? Theodor Adorno, sebagaimana dikutip Featherstone, membahas jika dominasi nilai tukar menghilangkan fungsi dari nilai guna sebuah benda, maka komoditas menjadi bebas untuk mengambil nilai guna sekunder atau nilai guna semu. Sehingga komoditas bebas mengambil berbagai bentuk ilusi-ilusi kebudayaan.

Periklanan secara khusus mampu mengeksploitasi kondisi ini dan memberikan image-image percintaan, eksotika, nafsu, kecantikan, pemenuhan kebutuhan, komunalitas, kemajuan ilmiah serta kehidupan yang lebih baik untuk menyebarkan benda-benda konsumen seperti sabun, mesin cuci, mobil serta minuman-minuman beralkohol.
Daftar Pustaka
Medhy Agintha Hidayat, Kebudayaan Postmodern Menurut Jean Baudrillard, makalah dalam www.itf.itb.ac.id, diakses 10 Juni 2003
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik & Modern, jilid 1, Gramedia, Jakarta, 1994, (terjemahan)
David Chaney, Lifestyle: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif,  Jalasutra, Yogyakarta, 2004, terj
Mike Featherstone, Posmodernisme & Budaya Konsumen, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001
DG Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2001
  


Kamis, 27 Oktober 2011

FEDERATION OF ROCKS

by Sucipto Zepp on Saturday, January 31, 2009 at 11:57am

ROCK sungguh sulit didefinisikan sebagai musik. Rock memang merupakan salah satu mainstream dalam musik, namun bukan kemudian ada penjelasan yang tetap dan tepat secara musikalitas.

Rock sebagai aliran dalam bermusik mulai dikenal di era 50-an lewat sang maestro Elvis Presley. Sang Flamboyan mampu menciptakan sebuah genre bermusik yang sangat menyimpang tidak hanya secara musikalitas tetapi juga adat.

Sebelum era Presley, musik terkotak dalam dua genre besar. Genre pertama adalah religi. Musik adalah harmonisasi tetap yang mengusung tema religius dan kesopanan. Musik adalah simbol religi yang karenanya bersifat suci sebagai bentuk pemujaan terhadap Tuhan. Musik disakralkan sebagai sesuatu yang suci dan tidak boleh dibuat main-main. Lirik dalam bermusik adalah pertobatan dan pemujaan terhadap Tuhan.

Genre kedua adalah musik sebagai konsumsi kalangan borjuis/elit. Di era ketika belum tercipta sarana reproduksi massal, musik hanya monopoli kalangan berduit ketika terpatok pada gedung2 teater. Musik adalah konsumsi elitis.

Di antara dua genre besar ini terdapat satu genre yang menjadi bayang-bayang (atau tepatnya sebagai oposan). Genre ini dikenal sebagai musik populer atau musik rakyat jelata. Jenis musik ini, tidak sebagaimana dua genre sebelumnya, sangatlah beragam dan unik. beragam dalam arti begitu banyak jenis dan unik dalam arti menampilkan kreativitas yang begitu kaya dari masing-masing kreatornya. Sehingga, banyak dikenal kemudian musik2 populer yang mencirikan daerah tertentu atau etnik tertentu.

Secara musikalitas musik jenis ini ringan, sederhana, mudah dipahami. Tema2 yang diangkat pun merupakan masalah sehari2 dan sangat merupakan representasi keseharian masyarakat banyak. Tidak mengherankan kemudian lirik2 tentang seks, cinta, kebebasan pun banyak ditemui dalam musik ini. Meskipun juga tema2 politis seperti kritik terhadap kekuasaan atau struktur sosial tidak jarang juga justru menjadi roh bagi musik populer ini. Musik populer ini merupakan bagian dari kebudayaan populer yang menurut McDonald (1956) merupakan sarana ekspresi masyarakat bawah yang tidak bersifat komersil dan hanya menjadi kebutuhan mereka sendiri.

Musik Rock, bisa dikatakan merupakan perkembangan luar biasa dari musik populer. Roh yang mengilhami lahirnya musik rock adalah anti kemapanan dan pemberontakan terhadap budaya keseragaman yang diciptakan oleh status quo. Para pemuda yang menolak untuk diseragamkan karena masing2 individu, masing2 pribadi adalah unik sehingga penyeragaman adalah sebuah bentuk anti-humanisme.

Hal inilah yang kemudian membuat musik rock begitu kaya akan aliran, genre, atau apapun namanya yang menunjukkan keunikan yang tiada terbatas. Musik Rock, sehingga dikemudian hari, dikenal sebagai sebuah federasi musik daripada aliran musik. Rock adalah gerakan kebudayaan yang memanifestasikan dirinya dalam bentuk bermusik.

Musik rock mengenal bermacam2 aliran semisal rock n roll, hard rock, punk, heavy metal, dsb. Kita mengenal The Beatles sebagai musik rock, namun Metallica juga kita kenal sebagai musik rock. Meskipun keduanya berbeda secara musikalitas, kedua tetap dianggap sebagai bagian dari musik rock. Disinilah letak kekayaan musik rock, sehingga kita mengenal FEDERATION of ROCKS yang beranggotakan rock n roll, hard rock, punk, heavy metal, dan banyak anggota lainnya.

Federasi ini tidak akan pernah berkurang, tetapi selalu bertambah seiring berkembangnya musik itu sendiri. Jadi, siapa yang mau menggabungkan diri dengan FEDERATION OF ROCKS.

Jumat, 23 September 2011

SkizoFrenia soSIAL

#SZ(desember2005)
Skizofrenia pada awalnya istilah dalam psikoanalisis yang digunakan untuk menjelaskan fenomena psikis pada manusia. Namun dalam perkembangan wacana intelektual di Barat, istilah ini digunakan secara metaforis untuk menjelaskan fenomena yang lebih luas seperti fenomena bahasa ( Jacques Lacan), fenomena sosial, ekonomi dan politik (Deleuze & Guattari), dan fenomena estetik (Fredric Jameson). 


    Menurut Lacan, sebagaimana dikutip oleh Jameson, mendefinisikan skizofrenia sebagai “...putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ugkapan atau makna”. Definisi ini merupakan jawaban atas tantangan para pemikir post-strukturalis terhdap linguistik struktural Saussure. Petanda, yang dalam pemikiran strukturalis dikatakan makna dari satu ungkapan, oleh para postrukturalis dikatakan hanya sebagai efek makna, yaitu efek yang ditimbulkan sebagai akibat dari pergerakan atau dialog antara satu penanda dan penanda lainnya. Menurut Jameson, ketika hubungan penanda dan petanda, atau di antara penanda-penanda ini terganggu, yaitu ketika sambungan rantai pertandaan terputus, maka akan dihasilkan ungkapan skizofrenia, dalam bentyk serangkaian penanda yang tidak berkaitan satu sama lainnya.


   Skizofrenia menganggap kata-kata sama seperti benda-benda sebagai referensi, dengan pengertian, sebuah kata tidak lagi merepresentasikan sesuatu sebagai referensi, melainkan referensi itu sendiri sebagai kata. Oleh sebab itu seorang skizofrenia tidak mengenal aku atau saya untuk merepresentasikan dirinya dalam bahasa, sebab ia menganggap dirinya setara dengan objek dan kata. Bahasa skizofrenia mencirikan tidak terikatnya satu penanda pada satu petanda. Dalam pandangan Lacan tentang bahasa skizofrenik, penanda itu bukan wakil dari petanda, melainkan sama dengannya—petanda adalah sebuah penanda. 


    Anika Lemaire, seorang komentator Lacan, mengemukakan bahwa dalam bahasa skizofrenia semua kata atau penanda dapat digunakan untuk menyatakan konsep atau petanda. Dengan perkataan lain, konsep atau petanda tidak dikaitkan dengan satu penanda dengan cara yang stabil, dan dengan demikian, persimpangsiuran kata atau penanda untuk menyatakan satu konsep dimungkinkan.  Skizofrenia dengan demikian hidup di dalam satu dunia simbol yang berlapis-lapis, yang tidak memungkinkanya sampai pada satu makna absolut, sebagaimana diklaim oleh strukturalisme. Di wilayah seni misalnya, karya skizofrenik dapat dilihat dari keterputusan dialog di antara elemen-elemen dalam karya, yaitu tidak berkaitannya elemen-elemen tersebut satu sama lain, sehingga makna karya tersebut sulit untuk ditafsirkan. 


    Menurut Baudrillard, dalam konteks masyarakat posindustri, perkembangan bahasa skizofrenia adalah sebagai akibat dari munculnya keacakan dan interkoneksi informasi dan jaringan-jaringan komunikasi yang tanpa batas dan bersifat imanen. 


  Masyarakat posindustri yang dicirikan oleh komunikasi, produksi, dan konsumsi melimpah ruah—iklan, televisi, fashion, dan sebagainya—terbuka akan segala jenis makna, namun tidak dapat lagi merefleksikan kembali makna-makna tersebut dalam kehidupan spiritual. Mereka hidup dalam kegalauan hutan rimba tanda-tanda dan makna-makna, yang di dalamnya satu tanda dan tanda-tanda lainnya, atau satu makna dan makna-makna lainnya yang bersifat kontradiktif bisa hidup berdampingan di dalam diskursus dan komunikasi masyarakat posindustri, di dalam bahasa estetik. Di dalam diskursus seni posmodern, bahasa estetik skizofrenia merupakan salah satu bahasa yang dominan. Bahasa skizofrenia posmodern adalah bahasa yang dihasilkan dari persimpangsiuran penanda, gaya, dan ungkapan dalam satu karya, yang menghasilkan makna-makna kontradiktif, ambigu, terpecah, atau samar-samar. 


    YA. Piliang menganggap skizofrenia adalah sebuah gerakan pembebasan diri—khususnya gerakan pembebasan hasrat—dari berbagai kungkungan keluarga, masyarakat, negara, bahkan agama yang dianggap mengahalangi kebebasan total manusia manusia, yang dengan pelepasan tersebut berbagai aspek yang bersifat nonhuman pada diri manusia: insting, keinginan, hasarat, kekuatan, transformasi, dan mutasinya, dapat diberikan ruang hidupnya.  Bagi Piliang, masyarakat konsumer disebut juga sebagai masyarakat skizofrenik disebabkan ia adalah sebuah masyarakat, yang di dalamnya hasrat dibebaskan dari berbagai hal yang menghalanginya. Melalui berbagai kesenangan dan kepuasan yang disediakan di dalam benda-benda konsumsi. Benda-benda konsumsi dikonstruksi oleh kapitalisme menjadi sarana pelepasan berbagai keinginan dan kepuasan tanpa adanya pembatasan. 


    Felix Guattari menyebut konsumerisme sebagai sebuah ruang tempat berlangsungnya revolusi hasrat. Revolusi hasrat, sebagaimana Piliang mengutip Guattari, merupakan sebuah pergerakan dalam menghancurkan segala bentuk penekanan dan setiap model normalitas yang ada di dalam masyarakat. Revolusi hasrat membebaskan manusia dari berbagai aturan keluarga atau sosial, dari berbagai kepercayan atau ideologi, dan dari konsep diri dan identitas diri yang tetap dan pasti.     


    Piliang menegaskan bahwa konsumerisme adalah sebuah ruang tempat hasrat mengalir ke segala arah tanpa ada pengendalian (sosial, agama, moral). Hasrat bagaikan mutan yang selalu berubah wujud, berubah bentuk, berubah tanda, berubah kode, dan berubah makna. Tidak ada sebuah bentuk, tanda, kode, dan makna yang dibiarkan terpancang pada sebuah titik yang tetap dan pasti—semuanya harus bergerak, berpindah, berganti tempat layaknya seorang nomad. Sehingga, skizofrenia menjadi sebuah wacana produksi hasrat yang sangat produktif dan kreatif, tanpa perlu terikat oleh kedalaman makna dan identitas bentuk.  Skizofrenia, demikian tulis Piliang, mengkondisikan narasi kehidupan manusia untuk berpindah tanpa henti dari satu bentuk pelepasan hasrat ke bentk pelepasan hasrat berikutnya, dari satu kegairahan ke kegairahan berikutnya, dari satu kepuasan ke kepuasan berikutnya, dari satu citra ke citra berikutnya. Sehingga dalam terminologi skizofrenia yang ada hanya hasrat dan sosial, tidak ada lainnya.  


    Kecenderungan untuk mengalirnya hasrat tanpa interupsi, telah membawa masyarakat konsumer ke dalam hal yang disebut oleh Delleuze dan Guattari sebagai jagad deteritorialisasi, yaitu kondisi kehidupan yang tidak pernah berhenti pada sebuah kedudukan (sosial, spiritual, politik) yang tetap dan konsisten. Skizofrenia pada akhirnya hanya akan menghasilkan sebuah kondisi ketidakmungkinan identitas. Identitas hanya mungkin ada, ketika ada sebuah prinsip dasar (keyakinan, ideologi, ras) yang secara konsiten dipertahankan secara berkelanjuta oleh seorang individu, sebuah masyarakat, atau sebuah bangsa. 


  Skizofrenia justru melihat sebaliknya bahwa prinsip dasar tersebut dapat berubah, berpindah, dan bermutasi. Skizofrenia menerima segala bentuk identitas, diri, keyakinan, dan ideologi, meskipun satu sama lainnya bertentangan, selama semuanya dapat digiring ke medan permainan. Skizofrenia mencampuradukkan dua hal dua hal bertentangan, misalnya, tekun di tempat ibadah di satu waktu, dan hanyut di dalam ekstasi foya-foya di waktu yang lain. Skizofrenia tidak melihat kedua hal yang kontradiktif tersebut sebagai sesuatu yang perlu dipertentangkan. Skizofrenia melihat kontradiksi dengan pandangan acuh tak acuh—the cultural contradiction of schizophrenic. 
Sumber Pustaka:
Yasraf A Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003
---------------------, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Jalasutra, Yogyakarta, 2004
 

Kamis, 15 September 2011

determinisme KOLONIAL

#SZ(februari2009)
Masa lalu bangsa ini bersimbah dengan cerita heroik melawan kaum penjajah. Setiap daerah memiliki sendiri cerita2 kepahlawanan yang terus dijaga spirit heroismenya hingga kini.

Ini merupakan fenomena yang tidak bisa dianggap salah, sebenarnya. Sampai suatu ketika mitos kepahlawanan itu dipaksakan menjadi identitas untuk membentuk khayali yang kemudian kita kenal sebagai Indonesia.

Kebangsaan yang kita kenal sebagai Indonesia dibangun berdasarkan sentimen sesama korban kolonial. Perasaan sentimentil ini yang menjadi spirit paham kebangsaan yang bertahan hingga sekarang. Meskipun, secara ironis paham ini berkembang menjadi kesadaran bersama setelah ratusan tahun Belanda mondar-mandir di belahan Nusantara.

Kesadaran ini yang kemudian membuat sejarah bangsa ini terjebak pada idiom perjuangan untuk mengusir penjajah dari nusantara. Tidak salah memang, namun pemaksaan pengertian seperti ini membawa pada sebuah kesadaran palsu atas masa lalu.

Pertanyaanya, perjuangan mengusir penjajah apakah merupakan tindakan reflektif atas nama nation-state sebagaimana kita pahami sekarang?

Nasionalisme, begitu Ben Anderson menulis, merupakan hasil dari imajinasi massal yang kemudian membentuk komunitas terbayang (imagined community). Kesadaran inilah yang kemudian membentuk sebuah solidaritas massal berdasarkan sentimen tertentu. Nasionalisme menerobos wilayah kognitif individu melalui serangkaian tindakan terstruktur secara massal. Dalam hal ini, nasionalisme telah menjadi arketipe dari sebuah proses pemahaman bersama. Nasionalisme dalam wilayah politik kontemporer merupakan sebuah ketaksadaran massal yang dikelola oleh elit2 yang berkepentingan.

Pandangan psikoanalitik semacam ini tidaklah bermaksud untuk mencerabut nasinalisme dari konteks nation-state, sebaliknya psikoanalitik akan membawa nasionalisme pada ranah perbincangan demi koreksi atas sikap ber-nasional-isme.

Kolonialisme adalah romantiksentimentil yang melatarbelakangi terbentuknya bangsa Indonesia. Masing2 bangsa yang beranung di bawah NKRI memiliki catatan sejarah mengenai perjuangan melawan kolonial. Sebelum melewati abad 20, kesadaran yang terbangun adalah melawan kolonial keluar dari wilayah masing2. Saat itu konteks perjuangan yang bersifat kedaerahan merupakan fakta sejarah yang seringkali diingkari motivasinya.

Sampai saat ini, melewati berbagai momen kebangsaan, fakta2 sejarah itu terus dipahami sebagai sebuah perjaungan nasional melawan kolonial. Pahlawan2 dari masing2 daerah terus ditinjolkan demi simbol heroik sebuah daerah. Disinilah letak kekeliruan ketika kolonialisme menjadi rujukan sejarah bangsa ini. Bukankah masing2 wilayah di nusantara ditaklukkan belanda dalam rentang waktu yang tidak bersamaan. Bukankah masing2 wilayah seringkali acuh ketika melihat tetangganya habis dibantai kolonial sambil berharap2 cemas kolonial tidak akan menghampiri mereka.

Kolonialisme adalah harga mati bagi kelamnya sejarah bangsa ini. Namun catatan yang tidak boleh dilupakan bahwa kolonialisme tidak bisa dijadikan patokan bagi nation-state. Ada beragam masalah yang tidak kunjung diselesaikan bagi terciptanya paham nation-state yang lebih cerdas. Mungkin, bisa jadi inilah adalah kesengajaan politis. Namun yang perlu dijadikan catatan bahwa ketika kolonialisme terus menerus menjadi determinan sejarah, maka mental inlander akan seterusnya hinggap pada mindset generasi penerus.

Senin, 29 Agustus 2011

RUANG PUBLIK & MASYARAKAT YANG KRITIS

#SuciptoZepp(januari2009)

Rakyat berduyun-duyun memadati alun-alun Kota Raja. Di bawah sengatan terik matahari, mereka duduk beralaskan tanah. Hanya diam dan duduk secara teratur. Tidak ada sumpah serapah atau bermacam sepanduk menghujat. Menunggu sang Raja keluar dari tembok keraton.

Ketika rakyat memenuhi alun-alun kota, Raja akan datang menemui mereka. Raja sendiri yang langsung berbicara dengan rakyatnya. Tidak ada juru bicara atau berbagai prosedur protokoler. Raja sendiri yang berbicara di depan rakyatnya. Ikut merasakan panasnya terik matahari di alun-alun kotaraja.

Para kawula ini sedang melakukan pepe. Pepe, dalam tafsir harfiah bahasa Indonesia berarti “berjemur”. Tetapi ini bukan sembarang berjemur. Rakyat “berjemur” untuk meminta keadilan dari sang Raja atau menuntut Raja untuk mendengarkan keluh kesah kesulitan mereka. Bisa juga untuk meminta penjelasan (pertanggungjawaban) dari Raja mengenai kebijakan istana yang dianggap merugikan rakyat.

Dahulu, ketika Majapahit tegak berdiri di sentrum Nusantara, pepe merupakan sarana rakyat untuk berkomunikasi dengan Rajanya. Tradisi ini memang sengaja dijaga untuk menjadi komunikasi politik antara rakyat dan rajanya.

Dewasa ini, proses komunikasi politik mulai membaik seiring tertatanya keseimbangan media. Meskipun jauh dari ideal, proses komunikasi politik secara sehat mulai merangsang kesadaran politis masyarakat. Kontrol masyarakat terhadap realitas lingkungan mulai terbangun seiring perkembangan media massa. Hal yang terpenting adalah semakin terbukanya ruang-ruang publik. Media massa merespon cukup baik dengan perubahan dalam pola komunikasi antara rakyat dengan pemerintah, atau rakyat dengan elemen-elemen rakyat lainnya.

Beberapa media memberikan ruang untuk acara sifatnya interaksi publik. Misalnya JTV dengan acara cangkrukan. Cangkrukan adalah istilah berkumpulnya beberapa orang untuk sekedar mengobrol. Mereka mengumpul disebuah tempat yang biasa disebut cangkruk (baca: pos kamling). Istilah cangkruk ini dipakai di Jawa bagian timur mulai dari Madiun hingga ke Timur Surabaya.

Dalam acara ini, yang dipandu Cak Prio itu, banyak elemen masyarakat yang berkumpul untuk membahas berbagai permasalahan sosial. Mulai dari akademisi, birokrat, teknokrat, rohaniawan, atau elemen masyarakat lainnya.

Perbincangan mengalir secara seimbang. Tidak ada hirarki meskipun yang hadir memiliki latar belakang yang berbeda. Semuanya boleh berpendapat. Asal dengan satu syarat, menggunakan akal sehat. Hanya dengan perbincangan secara akal sehatlah semua permasalah bisa mediasikan—dicari jalan tengahnya, karena tidak selalu permasalahan bisa ditemukan pemecahannya.

Bangsa ini memiliki tradisi rasional dalam penyelesaian kesehariannya. Cangkrukan adalah contoh bagaimana masyarakat menyikapi realitasnya secara akal sehat. Berkumpulnya masyarakat dalam suasana yang sehat secara komunikatif akan berdampak pada kontrol sosial yang sehat pula.
Linear dengan yang terjadi di belahan Eropa pada transisi menuju pencerahan, bangsa ini sudah memiliki sarana yang sama untuk membangun ruang publiknya sendiri. Bukankah cikal bakal lahirnya ruang publik adalah di kedai-kedai kopi Eropa menjelang transisi ke zaman modern.

Di kedai-kedai kopi ini kalangan menengah mengobrol untuk membicarakan bisnis. Lambat laun, pembicaraan mereka mulai beralih ke permasalahan sehari-hari. Permasalahan-permasalahan seputar sosial, politik, dan kekuasaan kemudian menjadi topik perbincangan.

Mulai munculnya kelas saudagar sebagai kekuatan politik baru membuat komposisi sosial berubah secara signifikan. Kelas saudagar yang lebih berpikiran terbuka membuat perimbangan kekuasaan semakin terpecah. Bahkan, kelas saudagar ini, menurut Habermas muncul sebagai Keningratan ke-3. Dua keningratan sebelumnya bahkan semakin goyah legitimasinya ketika Keningratan ke-4 muncul.
Berawal dari perbincangan di kedai-kedai kopi itulah para kaum kelas menengah, saudagar, ilmuwan, jurnalis, mulai menciptakan kondisi kritis di masyarakat. Munculnya media massa membuat kekuatan politik semakin rentan terhadap kritik. Legitimasi semakin sulit didapat dari rakyat seiring kekritisan yang menguat.

Ruang publik adalah elemen penting demi menciptakan masyarakat yang rasional secara komunikatif. Konflik-konflik sosial bahkan bisa diantisipasi jika ruang publik menjalankan fungsinya secara sehat.
Bahkan, kita tidak harus khawatir baik partai politik atau pemilu akan mengganggu kestabilan sosial jika ruang publik terbangun dan bekerja secara sehat. Dan ruang publik akan bekerja secara sehat jika dijaga dengan suasana akal sehat dan egaliter.