#SZ(desember2005)
Skizofrenia pada awalnya istilah dalam psikoanalisis yang digunakan untuk menjelaskan fenomena psikis pada manusia. Namun dalam perkembangan wacana intelektual di Barat, istilah ini digunakan secara metaforis untuk menjelaskan fenomena yang lebih luas seperti fenomena bahasa ( Jacques Lacan), fenomena sosial, ekonomi dan politik (Deleuze & Guattari), dan fenomena estetik (Fredric Jameson).
Menurut Lacan, sebagaimana dikutip oleh Jameson, mendefinisikan skizofrenia sebagai “...putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ugkapan atau makna”. Definisi ini merupakan jawaban atas tantangan para pemikir post-strukturalis terhdap linguistik struktural Saussure. Petanda, yang dalam pemikiran strukturalis dikatakan makna dari satu ungkapan, oleh para postrukturalis dikatakan hanya sebagai efek makna, yaitu efek yang ditimbulkan sebagai akibat dari pergerakan atau dialog antara satu penanda dan penanda lainnya. Menurut Jameson, ketika hubungan penanda dan petanda, atau di antara penanda-penanda ini terganggu, yaitu ketika sambungan rantai pertandaan terputus, maka akan dihasilkan ungkapan skizofrenia, dalam bentyk serangkaian penanda yang tidak berkaitan satu sama lainnya.
Skizofrenia menganggap kata-kata sama seperti benda-benda sebagai referensi, dengan pengertian, sebuah kata tidak lagi merepresentasikan sesuatu sebagai referensi, melainkan referensi itu sendiri sebagai kata. Oleh sebab itu seorang skizofrenia tidak mengenal aku atau saya untuk merepresentasikan dirinya dalam bahasa, sebab ia menganggap dirinya setara dengan objek dan kata. Bahasa skizofrenia mencirikan tidak terikatnya satu penanda pada satu petanda. Dalam pandangan Lacan tentang bahasa skizofrenik, penanda itu bukan wakil dari petanda, melainkan sama dengannya—petanda adalah sebuah penanda.
Anika Lemaire, seorang komentator Lacan, mengemukakan bahwa dalam bahasa skizofrenia semua kata atau penanda dapat digunakan untuk menyatakan konsep atau petanda. Dengan perkataan lain, konsep atau petanda tidak dikaitkan dengan satu penanda dengan cara yang stabil, dan dengan demikian, persimpangsiuran kata atau penanda untuk menyatakan satu konsep dimungkinkan. Skizofrenia dengan demikian hidup di dalam satu dunia simbol yang berlapis-lapis, yang tidak memungkinkanya sampai pada satu makna absolut, sebagaimana diklaim oleh strukturalisme. Di wilayah seni misalnya, karya skizofrenik dapat dilihat dari keterputusan dialog di antara elemen-elemen dalam karya, yaitu tidak berkaitannya elemen-elemen tersebut satu sama lain, sehingga makna karya tersebut sulit untuk ditafsirkan.
Menurut Baudrillard, dalam konteks masyarakat posindustri, perkembangan bahasa skizofrenia adalah sebagai akibat dari munculnya keacakan dan interkoneksi informasi dan jaringan-jaringan komunikasi yang tanpa batas dan bersifat imanen.
Masyarakat posindustri yang dicirikan oleh komunikasi, produksi, dan konsumsi melimpah ruah—iklan, televisi, fashion, dan sebagainya—terbuka akan segala jenis makna, namun tidak dapat lagi merefleksikan kembali makna-makna tersebut dalam kehidupan spiritual. Mereka hidup dalam kegalauan hutan rimba tanda-tanda dan makna-makna, yang di dalamnya satu tanda dan tanda-tanda lainnya, atau satu makna dan makna-makna lainnya yang bersifat kontradiktif bisa hidup berdampingan di dalam diskursus dan komunikasi masyarakat posindustri, di dalam bahasa estetik. Di dalam diskursus seni posmodern, bahasa estetik skizofrenia merupakan salah satu bahasa yang dominan. Bahasa skizofrenia posmodern adalah bahasa yang dihasilkan dari persimpangsiuran penanda, gaya, dan ungkapan dalam satu karya, yang menghasilkan makna-makna kontradiktif, ambigu, terpecah, atau samar-samar.
YA. Piliang menganggap skizofrenia adalah sebuah gerakan pembebasan diri—khususnya gerakan pembebasan hasrat—dari berbagai kungkungan keluarga, masyarakat, negara, bahkan agama yang dianggap mengahalangi kebebasan total manusia manusia, yang dengan pelepasan tersebut berbagai aspek yang bersifat nonhuman pada diri manusia: insting, keinginan, hasarat, kekuatan, transformasi, dan mutasinya, dapat diberikan ruang hidupnya. Bagi Piliang, masyarakat konsumer disebut juga sebagai masyarakat skizofrenik disebabkan ia adalah sebuah masyarakat, yang di dalamnya hasrat dibebaskan dari berbagai hal yang menghalanginya. Melalui berbagai kesenangan dan kepuasan yang disediakan di dalam benda-benda konsumsi. Benda-benda konsumsi dikonstruksi oleh kapitalisme menjadi sarana pelepasan berbagai keinginan dan kepuasan tanpa adanya pembatasan.
Felix Guattari menyebut konsumerisme sebagai sebuah ruang tempat berlangsungnya revolusi hasrat. Revolusi hasrat, sebagaimana Piliang mengutip Guattari, merupakan sebuah pergerakan dalam menghancurkan segala bentuk penekanan dan setiap model normalitas yang ada di dalam masyarakat. Revolusi hasrat membebaskan manusia dari berbagai aturan keluarga atau sosial, dari berbagai kepercayan atau ideologi, dan dari konsep diri dan identitas diri yang tetap dan pasti.
Piliang menegaskan bahwa konsumerisme adalah sebuah ruang tempat hasrat mengalir ke segala arah tanpa ada pengendalian (sosial, agama, moral). Hasrat bagaikan mutan yang selalu berubah wujud, berubah bentuk, berubah tanda, berubah kode, dan berubah makna. Tidak ada sebuah bentuk, tanda, kode, dan makna yang dibiarkan terpancang pada sebuah titik yang tetap dan pasti—semuanya harus bergerak, berpindah, berganti tempat layaknya seorang nomad. Sehingga, skizofrenia menjadi sebuah wacana produksi hasrat yang sangat produktif dan kreatif, tanpa perlu terikat oleh kedalaman makna dan identitas bentuk. Skizofrenia, demikian tulis Piliang, mengkondisikan narasi kehidupan manusia untuk berpindah tanpa henti dari satu bentuk pelepasan hasrat ke bentk pelepasan hasrat berikutnya, dari satu kegairahan ke kegairahan berikutnya, dari satu kepuasan ke kepuasan berikutnya, dari satu citra ke citra berikutnya. Sehingga dalam terminologi skizofrenia yang ada hanya hasrat dan sosial, tidak ada lainnya.
Kecenderungan untuk mengalirnya hasrat tanpa interupsi, telah membawa masyarakat konsumer ke dalam hal yang disebut oleh Delleuze dan Guattari sebagai jagad deteritorialisasi, yaitu kondisi kehidupan yang tidak pernah berhenti pada sebuah kedudukan (sosial, spiritual, politik) yang tetap dan konsisten. Skizofrenia pada akhirnya hanya akan menghasilkan sebuah kondisi ketidakmungkinan identitas. Identitas hanya mungkin ada, ketika ada sebuah prinsip dasar (keyakinan, ideologi, ras) yang secara konsiten dipertahankan secara berkelanjuta oleh seorang individu, sebuah masyarakat, atau sebuah bangsa.
Skizofrenia justru melihat sebaliknya bahwa prinsip dasar tersebut dapat berubah, berpindah, dan bermutasi. Skizofrenia menerima segala bentuk identitas, diri, keyakinan, dan ideologi, meskipun satu sama lainnya bertentangan, selama semuanya dapat digiring ke medan permainan. Skizofrenia mencampuradukkan dua hal dua hal bertentangan, misalnya, tekun di tempat ibadah di satu waktu, dan hanyut di dalam ekstasi foya-foya di waktu yang lain. Skizofrenia tidak melihat kedua hal yang kontradiktif tersebut sebagai sesuatu yang perlu dipertentangkan. Skizofrenia melihat kontradiksi dengan pandangan acuh tak acuh—the cultural contradiction of schizophrenic.
Skizofrenia pada awalnya istilah dalam psikoanalisis yang digunakan untuk menjelaskan fenomena psikis pada manusia. Namun dalam perkembangan wacana intelektual di Barat, istilah ini digunakan secara metaforis untuk menjelaskan fenomena yang lebih luas seperti fenomena bahasa ( Jacques Lacan), fenomena sosial, ekonomi dan politik (Deleuze & Guattari), dan fenomena estetik (Fredric Jameson).
Menurut Lacan, sebagaimana dikutip oleh Jameson, mendefinisikan skizofrenia sebagai “...putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ugkapan atau makna”. Definisi ini merupakan jawaban atas tantangan para pemikir post-strukturalis terhdap linguistik struktural Saussure. Petanda, yang dalam pemikiran strukturalis dikatakan makna dari satu ungkapan, oleh para postrukturalis dikatakan hanya sebagai efek makna, yaitu efek yang ditimbulkan sebagai akibat dari pergerakan atau dialog antara satu penanda dan penanda lainnya. Menurut Jameson, ketika hubungan penanda dan petanda, atau di antara penanda-penanda ini terganggu, yaitu ketika sambungan rantai pertandaan terputus, maka akan dihasilkan ungkapan skizofrenia, dalam bentyk serangkaian penanda yang tidak berkaitan satu sama lainnya.
Skizofrenia menganggap kata-kata sama seperti benda-benda sebagai referensi, dengan pengertian, sebuah kata tidak lagi merepresentasikan sesuatu sebagai referensi, melainkan referensi itu sendiri sebagai kata. Oleh sebab itu seorang skizofrenia tidak mengenal aku atau saya untuk merepresentasikan dirinya dalam bahasa, sebab ia menganggap dirinya setara dengan objek dan kata. Bahasa skizofrenia mencirikan tidak terikatnya satu penanda pada satu petanda. Dalam pandangan Lacan tentang bahasa skizofrenik, penanda itu bukan wakil dari petanda, melainkan sama dengannya—petanda adalah sebuah penanda.
Anika Lemaire, seorang komentator Lacan, mengemukakan bahwa dalam bahasa skizofrenia semua kata atau penanda dapat digunakan untuk menyatakan konsep atau petanda. Dengan perkataan lain, konsep atau petanda tidak dikaitkan dengan satu penanda dengan cara yang stabil, dan dengan demikian, persimpangsiuran kata atau penanda untuk menyatakan satu konsep dimungkinkan. Skizofrenia dengan demikian hidup di dalam satu dunia simbol yang berlapis-lapis, yang tidak memungkinkanya sampai pada satu makna absolut, sebagaimana diklaim oleh strukturalisme. Di wilayah seni misalnya, karya skizofrenik dapat dilihat dari keterputusan dialog di antara elemen-elemen dalam karya, yaitu tidak berkaitannya elemen-elemen tersebut satu sama lain, sehingga makna karya tersebut sulit untuk ditafsirkan.
Menurut Baudrillard, dalam konteks masyarakat posindustri, perkembangan bahasa skizofrenia adalah sebagai akibat dari munculnya keacakan dan interkoneksi informasi dan jaringan-jaringan komunikasi yang tanpa batas dan bersifat imanen.
Masyarakat posindustri yang dicirikan oleh komunikasi, produksi, dan konsumsi melimpah ruah—iklan, televisi, fashion, dan sebagainya—terbuka akan segala jenis makna, namun tidak dapat lagi merefleksikan kembali makna-makna tersebut dalam kehidupan spiritual. Mereka hidup dalam kegalauan hutan rimba tanda-tanda dan makna-makna, yang di dalamnya satu tanda dan tanda-tanda lainnya, atau satu makna dan makna-makna lainnya yang bersifat kontradiktif bisa hidup berdampingan di dalam diskursus dan komunikasi masyarakat posindustri, di dalam bahasa estetik. Di dalam diskursus seni posmodern, bahasa estetik skizofrenia merupakan salah satu bahasa yang dominan. Bahasa skizofrenia posmodern adalah bahasa yang dihasilkan dari persimpangsiuran penanda, gaya, dan ungkapan dalam satu karya, yang menghasilkan makna-makna kontradiktif, ambigu, terpecah, atau samar-samar.
YA. Piliang menganggap skizofrenia adalah sebuah gerakan pembebasan diri—khususnya gerakan pembebasan hasrat—dari berbagai kungkungan keluarga, masyarakat, negara, bahkan agama yang dianggap mengahalangi kebebasan total manusia manusia, yang dengan pelepasan tersebut berbagai aspek yang bersifat nonhuman pada diri manusia: insting, keinginan, hasarat, kekuatan, transformasi, dan mutasinya, dapat diberikan ruang hidupnya. Bagi Piliang, masyarakat konsumer disebut juga sebagai masyarakat skizofrenik disebabkan ia adalah sebuah masyarakat, yang di dalamnya hasrat dibebaskan dari berbagai hal yang menghalanginya. Melalui berbagai kesenangan dan kepuasan yang disediakan di dalam benda-benda konsumsi. Benda-benda konsumsi dikonstruksi oleh kapitalisme menjadi sarana pelepasan berbagai keinginan dan kepuasan tanpa adanya pembatasan.
Felix Guattari menyebut konsumerisme sebagai sebuah ruang tempat berlangsungnya revolusi hasrat. Revolusi hasrat, sebagaimana Piliang mengutip Guattari, merupakan sebuah pergerakan dalam menghancurkan segala bentuk penekanan dan setiap model normalitas yang ada di dalam masyarakat. Revolusi hasrat membebaskan manusia dari berbagai aturan keluarga atau sosial, dari berbagai kepercayan atau ideologi, dan dari konsep diri dan identitas diri yang tetap dan pasti.
Piliang menegaskan bahwa konsumerisme adalah sebuah ruang tempat hasrat mengalir ke segala arah tanpa ada pengendalian (sosial, agama, moral). Hasrat bagaikan mutan yang selalu berubah wujud, berubah bentuk, berubah tanda, berubah kode, dan berubah makna. Tidak ada sebuah bentuk, tanda, kode, dan makna yang dibiarkan terpancang pada sebuah titik yang tetap dan pasti—semuanya harus bergerak, berpindah, berganti tempat layaknya seorang nomad. Sehingga, skizofrenia menjadi sebuah wacana produksi hasrat yang sangat produktif dan kreatif, tanpa perlu terikat oleh kedalaman makna dan identitas bentuk. Skizofrenia, demikian tulis Piliang, mengkondisikan narasi kehidupan manusia untuk berpindah tanpa henti dari satu bentuk pelepasan hasrat ke bentk pelepasan hasrat berikutnya, dari satu kegairahan ke kegairahan berikutnya, dari satu kepuasan ke kepuasan berikutnya, dari satu citra ke citra berikutnya. Sehingga dalam terminologi skizofrenia yang ada hanya hasrat dan sosial, tidak ada lainnya.
Kecenderungan untuk mengalirnya hasrat tanpa interupsi, telah membawa masyarakat konsumer ke dalam hal yang disebut oleh Delleuze dan Guattari sebagai jagad deteritorialisasi, yaitu kondisi kehidupan yang tidak pernah berhenti pada sebuah kedudukan (sosial, spiritual, politik) yang tetap dan konsisten. Skizofrenia pada akhirnya hanya akan menghasilkan sebuah kondisi ketidakmungkinan identitas. Identitas hanya mungkin ada, ketika ada sebuah prinsip dasar (keyakinan, ideologi, ras) yang secara konsiten dipertahankan secara berkelanjuta oleh seorang individu, sebuah masyarakat, atau sebuah bangsa.
Skizofrenia justru melihat sebaliknya bahwa prinsip dasar tersebut dapat berubah, berpindah, dan bermutasi. Skizofrenia menerima segala bentuk identitas, diri, keyakinan, dan ideologi, meskipun satu sama lainnya bertentangan, selama semuanya dapat digiring ke medan permainan. Skizofrenia mencampuradukkan dua hal dua hal bertentangan, misalnya, tekun di tempat ibadah di satu waktu, dan hanyut di dalam ekstasi foya-foya di waktu yang lain. Skizofrenia tidak melihat kedua hal yang kontradiktif tersebut sebagai sesuatu yang perlu dipertentangkan. Skizofrenia melihat kontradiksi dengan pandangan acuh tak acuh—the cultural contradiction of schizophrenic.
Sumber Pustaka:
Yasraf A Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003
---------------------, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Jalasutra, Yogyakarta, 2004
2 komentar:
Jadi inget film2 jodorowsky. Cabul sekaligus sok nuturi. Masuk ke ranah Skizofrenia sosial kah karya2nya?
dear perikecil, saya belum pernah menonton film2 jodorowsky, tapi kalau dalam parameter kecabulan dan kemudian sok nuturi, mungkin bisa dikatakan sebagai skizofrenia. mungkin, dalam hal ini harusbanyak2 melihat konteksnya, terima kasih, salam :-D
Posting Komentar