#SZ, Juli 2005
Era kontemporer
memposisikan iklan tidak lagi sebagai sarana untuk menawarkan produk,
tetapi—yang terpenting—menawarkan sebuah citra akan identitas kekinian yang
mampu mengontrol apa yang harus dibeli. Iklan mampu menembus sebuah citra akan
identitas kekinian yang mampu mengontrol apa yang harus dibeli. Iklan mampu
menembus alam tidak sadar manusia sehingga tanpa proses kritis dan rasional,
masyarakat mampu digiring pada sebuah kondisi yang sulit dibedakan antara yang
rasional dan irasional, antara fiksi dan fakta, antara yang asli dan imitasi,
antara yang nyata dan fatamorgana. Meminjam istilah psikoanalisis sebagai
kondisi schizophrenia.
Menjadi tirani audio dan
visual dalam keseharian masyarakat, iklan tampil di semua media massa. Iklan,
mengutip Sut Jhally dalam karyanya Advertising as Religion: The Dialectic of
Tecnology and Magic (1989), bahkan telah mengeser peran agama dalam memberi
pengertian tentang kebahagian dan kehormatan diri. Iklan telah menjadi
parameter legimitasi trade mark masa ini.
Hiperealitas iklan yang
merupakan hasil dari simulasi yang dihadirkan secara kontinyu dengan bantuan
perangkat-perangkat media massa menjadikan iklan kehilangan representasi
realitas sosialnya. Iklan tidak lagi merujuk pada sebuah realitas apapun,
tetapi merujuk pada dirinya sendiri sebagaimana Baudrillard sering mengatakan
bahwa hiperealitas-lah yang sekarang menjadi realitasnya. Simulasi hadir
dimana-mana, dari wilayah politik praktis, ekonomi, teknologi, bahkan jauh
menembus ke wilayah-wilayah yang mungkin tidak terbayangkan pada zaman
sebelumnya: ruang tidur. Modernitas memberikan ruang selebar-lebarnya bagi
berlangsungnya berbagai simulasi. Pada titik yang sangat ekstrim, siapapun
tidak akan sadar bahwa yang sedang terjadi hanyalah sebuah simulasi.
Dunia modern adalah dunia
yang penuh kelimpahruahan. Semuanya hadir dalam sebuah sistem yang saling
menciptakan ketergantungan satu sama lainnya. Sistem sosial yang layaknya
sebuah kontrol terhadap subsistem-subsistemnya. Mode, fashion, mobil, dinner
club, adalah lifestyle yang menjadi parameter-parameter yang merongrong
manusia untuk terus menerus mengejarnya. Lifestyle yang merupakan nilai-nilai
material telah berhasil menembus dunia ide dan menyatukan manusia dari berbagai
ras untuk berpikiran seragam. Apakah sekarang masih ada perbedaan dalam
lifestyle antara orang Negro, Eropa, Asia Timur, Asia Barat, Amerika Utara, dan
masyarakat Hispanik? Satu-satunya perbedaan hanya dalam tampilan fisik etnis,
selebihnya adalah apa yang tampil di media massa.
Fenomena ini menciptakan
fakta-fakta sosial yang oleh Emile Durkheim dibedakan dalam tiga karakteristik.
Pertama, fakta sosial bersifat eksternal terhadap individu. Hal ini merupakan
cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang memperlihatkan sifat patut
dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar kesadaran individu. Kedua, bahwa
fakta tersebut memaksa individu. Bagi Durkheim, individu dipaksa, dibimbing,
diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh pelbagai tipe
fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Selanjutnya, tulis Durkheim, tipe-tipe
perilaku atau berfikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya mereka
memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri. Ini tidak berarti
bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang
negatif atau membatasi seperti memaksa seseorang untuk berperilaku yang
bertentangan dengan kemauannya. Sesungguhnya kalau proses sosialisasi itu
berhasil, individu sudah mengendapkan fakta sosial yang cocok sedemikian
menyeluruhnya sehingga perintah-perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang
biasa, sama sekali tidak bertentangan dengan kemauan individu. Ketiga,
bahwa fakta sosial itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu
masyarakat. Fakta sosial itu milik bersama dan bukan milik individu. Fakta
sosial benar-benar bersifat kolektif dan pengaruhnya terhadap individu
merupakan hasil dari sifat kolektifnya.
Ketiga
karakteristik fakta sosial ini –ekternalitas, paksaan, dan sifat
umum—bagi Durkheim menggambarkan tipe gejala yang menjadi pokok permasalahan
dalam sosiologi. Dalam konteks masyarakat kontemporer, tiga tipologi
fakta sosialnya bisa dijadikan pintu masuk untuk menjelaskan budaya massa yang
marak di paruh kedua abad duapuluh. Ekternalitas, merupakan kondisi ketika
manusia tidak mampu melepaskan diri dari lingkungan sosialnya. Lingkungan
sosial mempunyai dampak yang sulit dihindari oleh individu. Sejalan dengan
pemikiran Marx yang mengatakan bahwa manusia dibentuk oleh lingkungan
sosialnya, Durkheim menegaskan bahwa manusia juga dibentuk oleh sistem
sosialnya. Bahasa, ekonomi, profesionalitas, norma-norma, merupakan
faktor-faktor eksternal yang mampu menembus alam tak sadar manusia. Paksaan,
adalah bagaimana kemudian tangan-tangan tak terlihat menciptakan sebuah
komoditi yang bisa diterima oleh semua kalangan. Kalau di zaman sebelum modern
ada pembedaan antara kebudayaan populer dan kebudayaan elit, maka sekarang
muncullah apa yang dinamakan sebagai budaya massa. Budaya massa adalah sebuah
hasil dari melunturnya batas antara budaya elit dengan budaya popular. Budaya
elit yang dimiliki kalangan atas adalah budaya eklusif yang hanya bisa
dinikmati oleh kalangan terbatas. Budaya pop/rakyat merupakan budaya yang
tumbuh dari bawah. Ia adalah ekspresi otonom dan spontan rakyat kebanyakan yang
dibuat oleh mereka sendiri, dan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri tanpa
adanya pengaruh budaya elit (MacDonald,1957:60). Budaya massa ditumbuhkan
dari atas. Ia diproduksi oleh tenaga-tenaga teknis yang diperkerjakan oleh produsen,
khalayaknya adalah konsumer-konsumer pasif, dimana partisipasi mereka terbatas
pada pilihan membeli atau tidak membeli. Sepertinya manusia memang tidak
dipaksa untuk mengkonsumsi, namun ia tidak sadar dengan simulasi tangan-tangan
tak terlihat. Seolah-olah manusia tidak dipaksa, namun ia hanya diberi pilihan
alternatif dalam mengkonsumsi. “Jika Anda tidak suka Ford, silakan memakai
BMW”. Apa yang dialaminya adalah sebuah hiperealitas dalam ruang
simulakrum. Manusia harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar tidak
dianggap ketinggalan zaman. Maka orang beramai-ramai ikut dinner club,
main golf, spa, ke salon. Atau ketika rambut Demi Moore tiba-tiba saja sangat
populer seiring kesuksesannya membintangi film Ghost di awal dasawarsa 1990-an.
Sifat Umum, adalah ketika semuanya menjadi wajar dan bisa diterima semua
kalangan. Zaman sekarang, bukan hal yang aneh kalau laki-laki banyak yang suka
berdandan, pergi ke salon, mandi lulur. Fenomena cowok metrosexual yang
menggemari jenis perawatan tubuh seperti, hair care (perawatan rambut),
skin care (kulit) yang bertumpu pada wajah, tooth care (gigi), body care
(badan), serta hand and foot care (tangan dan kaki). Siapa sangka jika David
Beckham, salah satu maestro sepak bola dunia, sering mengecat kuku jarinya
dengan warna pink. Beckham, juga sering bertandang ke salon untuk melakukan
facial, menicure, pedicure dan berganti potongan rambut. Bahkan, waktu yang
diperlukan untuk berdandan jauh lebih lama dari istrinya. Selain itu, mantan
kapten tim Manchester United ini juga tidak ragu mengenakan gaun istrinya kala
di rumah. Ferry Salim, pemain sinetron sekaligus presenter papan atas di tanah
air, selalu melindungi wajahnya dengan pelembab, termasuk krim mata sebelum
bepergian. Ia pun mengoleksi parfum botol kecil sampai mencapai sekitar 3.500
botol. Produk-produk kosmetika yang berlabel “For Men” begitu mudah ditemui di
toko-toko kosmetik. Dari shampo hingga parfum, dari sabun sampai eyeshadow.
Gaya
hidup merupakan bagian tak terpisahkan dari struktur sosial masyarakat modern.
Menjadi sebuah satu kesatuan yang saling menopang dalam dunia modern. Gaya
hidup menjadi ciri khas dari masyarakat modern. Manusia modern akan selalu
punya lifestyle untuk melakukan tindakan komunikasi yang bersifat pertukaran
simbol dengan masyarakatnya. Manusia mengidentifikasikan dirinya dengan
perangkat-perangkat simbolik yang menjelaskan status sosial mereka. Modernitas
kemudian dipahami sebagai gaya hidup yang menekankan penampilan luar sebagai
parameter penilaian terhadap kapasitas manusia. Maka, untuk menjadi
manusia modern diperlukan atribut-atribut yang memberi kesan “kita adalah
orang modern”. Modernitas hanya berujung pada sebuah tindakan konsumtif yang
tidak produktif. David Chaney menjelaskan bahwa dalam dunia modern gaya hidup
adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang
lainnya. Lebih jauh Chaney menegaskan bahwa: Oleh karena itu, gaya hidup
membantu memahami (yakni menjelaskan tapi bukan berarti membenarkan) apa yang
orang lakukan, mengapa mereka melakukannya, dan apakah yang mereka lakukan
bermakna bagi dirinya maupun orang lain.
Konsumerisme adalah implikasi lebih lanjut dari gaya hidup masyarakat
modern. Proses konsumsi tidak hanya menjadi aktivitas perdagangan yang
berdasarkan nilai guna dan nilai tukar. Namun konsumsi bergerak menuju sebuah
proses pertukaran simbolik yang menciptakan status-status sosial tertentu. Era
pra modern menempatkan perbedaan mencolok antara kaum borjuis dan rakyat jelata
dalam hal konsumsi—namun di wilayah politik, hukum, dan lainnya juga. Namun
perbedaan mencolok ini berangsur-angsur menghilang seiring terciptanya produksi
massal dan murah. Mengutip McKendrik, Chaney menyebutkan tentang masyarakat
Inggris abad ke-18 yang menjadi saksi lahirnya suatu masyarakat konsumen dan
memfasilitasi suatu revolusi konsumen, dalam proses mengatasi hambatan-hambatan
yang “menuntut perubahan sikap dan pemikiran, perubahan dalam kemakmuran dan
standar kehidupan, perubahan dalam teknik komersial dan keahlian-keahlian promosi,
atau bahkan terkadang perubahan hukum itu sendiri. Selanjutnya Chaney mengutip
pendapat McKendrik dalam gaya yang argumentatif sebagai berikut:
Jika seseorang bertanya
mengapa Inggris memuncukan preseden dalam revolusi ini, unsur pokok dalam
jawaban McKendrik adalah penyebaran yang relatif sempit struktur sosial
kontemporer. Pabrik-pabrik baru yang menghasilkan barang-barang konsumsi pada
awalnya menjadikan kalangan elit sebagai sasaran, dan dukungan mereka amat
penting bagi kreasi fashion populer, tetapi keuntungan yang sangat besar yang
diperoleh sesudah itu adalah dengan memasarkan dan mendistribusikan
tiruan-tiruan barang-barnag tersebut kepada khlayak umum. Dalam proses
pembedaan kasta sosial yang kaku, dalam wajah dan dunia kehidupan yang telah terkungkung
oleh konservatisme hukum-hukum kemewahan, di antara faktor-faktor lainnya,
masih perlu dirampas kemurniannya. Dalam proses menciptakan peminat dari
berbagai kalangan melalui komersialisasi fashion, periklanan dan teknik-teknik
pemasaran lainnya merupakan hal yang sangat penting.
Bukan kebetulan jika
kemudian muncullah apa yang disebut sebagai budaya konsumen. Budaya konsumen
merupakan sebuah budaya akibat melimpahnya komoditi. Membanjirnya komoditi atau
benda-benda konsumsi merupakan sarana yang efektif bagi manusia modern
untuk melepaskan segala hasrat. Pemindahan dari satu kepuasan ke kepuasan
lainnya.
Kelebihan penyediaan
benda-benda konsumsi tidak bisa dianggap tidak membawa masalah
begitu saja. Pada masyarakat barat kontemporer kelebihan persediaan benda-benda
konsumsi (benda-beda simbolik) serta tendensi ke arah kekacauan dan
de-klasifikasi budaya memunculkan beberapa masalah budaya dan mempunyai
implikasi yang lebih luas bagi konseptualisasi tentang hubungan antara budaya,
ekonomi, dan masyarakat.
Mike Featherstone membagi
budaya konsumen dalam tiga perspektif. Pertama, budaya konsumen adalah
imbas dari perkembangan pesat kapitalisme. Kedua, dalam perspektif sosiologis
penggunaan benda-benda konsumsi menunjukkan pembedaan status sosial dan gaya
hidup. Ketiga, merupakan hasrat-hasrat berkonsumsi dan estetika.
Dalam perspektif ilmu
ekonomi klasik, objek dari semua produksi adalah konsumsi melalui pemaksimalan
kepuasaan konsumen dengan pembeliaan berbagai benda-benda konsumsi. Namun dari
paradigma penganut neo-Marxist abad duapuluh (Sekolah Frankfurt), perkembangan
ini dipandang sebagai situasi ke arah konsumsi massal yang terkendali dan dapat
dimanipulasi. Perkembangan pesat produksi kapitalis terutama setelah pergantian
ke abad duapuluh dan perluasan pasar dalam bentuknya yang ekpansif,
memandang perlunya melakukan “pendidikan publik” melalui periklanan dan media
yang lain agar menjadi konsumen.
Horkheimer dan Adorno
berpendapat bahwa logika komoditas yang sama serta perwujudan rasionalitas
instrumental dalam lingkup produksi tampak nyata dalam lingkup konsumsi.
Pencarian waktu luang, seni dan budaya, secara umum tersaring melalui
industri budaya; penerimaan diarahkan oleh nilai tukar karena tujuan yang lebih
tinggi, dan nilai-nilai budaya dikalahkan pada logika proses produksi
serta pasar. Nilai-nilai tradisional yang mencakup hubungan kehidupan domestik
rumah tangga dan individu, harapan akan kebahagiaan dan kesejahteraan umat
manusia, pencarian hal-hal yang baru yang sangat berbeda, merupakan hasil dari
budaya tinggi yang dimanipulasikan dalam bentuk budaya komoditi semu yang
direproduksi secara besar-besaran untuk menghasilkan apa yang disebut
budaya massa.
Mike Featherstone
menegaskan dari perspektif ini bahwa akumulasi barang telah mengakibatkan
kemenangan nilai tukar, bahwa penghitungan rasional instrumental dari semua
aspek kehidupan menjadi muungkin di mana semua perbedaan, tradisi budaya dan
kuallitas yang esensial ditransformasikan ke dalam kuantitas (angka).
Pertanyaannya kemudian,
apakah ini sekedar merupakan suatu budaya nilai tukar dan penghitungan
rasionalitas instrumental? Theodor Adorno, sebagaimana dikutip Featherstone,
membahas jika dominasi nilai tukar menghilangkan fungsi dari nilai guna sebuah
benda, maka komoditas menjadi bebas untuk mengambil nilai guna sekunder atau
nilai guna semu. Sehingga komoditas bebas mengambil berbagai bentuk ilusi-ilusi
kebudayaan.
Periklanan secara khusus
mampu mengeksploitasi kondisi ini dan memberikan image-image percintaan,
eksotika, nafsu, kecantikan, pemenuhan kebutuhan, komunalitas, kemajuan ilmiah
serta kehidupan yang lebih baik untuk menyebarkan benda-benda konsumen seperti
sabun, mesin cuci, mobil serta minuman-minuman beralkohol.
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar