#SZ(februari2009)
Masa lalu bangsa ini bersimbah dengan cerita heroik melawan kaum penjajah. Setiap daerah memiliki sendiri cerita2 kepahlawanan yang terus dijaga spirit heroismenya hingga kini.
Ini merupakan fenomena yang tidak bisa dianggap salah, sebenarnya. Sampai suatu ketika mitos kepahlawanan itu dipaksakan menjadi identitas untuk membentuk khayali yang kemudian kita kenal sebagai Indonesia.
Kebangsaan yang kita kenal sebagai Indonesia dibangun berdasarkan sentimen sesama korban kolonial. Perasaan sentimentil ini yang menjadi spirit paham kebangsaan yang bertahan hingga sekarang. Meskipun, secara ironis paham ini berkembang menjadi kesadaran bersama setelah ratusan tahun Belanda mondar-mandir di belahan Nusantara.
Kesadaran ini yang kemudian membuat sejarah bangsa ini terjebak pada idiom perjuangan untuk mengusir penjajah dari nusantara. Tidak salah memang, namun pemaksaan pengertian seperti ini membawa pada sebuah kesadaran palsu atas masa lalu.
Pertanyaanya, perjuangan mengusir penjajah apakah merupakan tindakan reflektif atas nama nation-state sebagaimana kita pahami sekarang?
Nasionalisme, begitu Ben Anderson menulis, merupakan hasil dari imajinasi massal yang kemudian membentuk komunitas terbayang (imagined community). Kesadaran inilah yang kemudian membentuk sebuah solidaritas massal berdasarkan sentimen tertentu. Nasionalisme menerobos wilayah kognitif individu melalui serangkaian tindakan terstruktur secara massal. Dalam hal ini, nasionalisme telah menjadi arketipe dari sebuah proses pemahaman bersama. Nasionalisme dalam wilayah politik kontemporer merupakan sebuah ketaksadaran massal yang dikelola oleh elit2 yang berkepentingan.
Pandangan psikoanalitik semacam ini tidaklah bermaksud untuk mencerabut nasinalisme dari konteks nation-state, sebaliknya psikoanalitik akan membawa nasionalisme pada ranah perbincangan demi koreksi atas sikap ber-nasional-isme.
Kolonialisme adalah romantiksentimentil yang melatarbelakangi terbentuknya bangsa Indonesia. Masing2 bangsa yang beranung di bawah NKRI memiliki catatan sejarah mengenai perjuangan melawan kolonial. Sebelum melewati abad 20, kesadaran yang terbangun adalah melawan kolonial keluar dari wilayah masing2. Saat itu konteks perjuangan yang bersifat kedaerahan merupakan fakta sejarah yang seringkali diingkari motivasinya.
Sampai saat ini, melewati berbagai momen kebangsaan, fakta2 sejarah itu terus dipahami sebagai sebuah perjaungan nasional melawan kolonial. Pahlawan2 dari masing2 daerah terus ditinjolkan demi simbol heroik sebuah daerah. Disinilah letak kekeliruan ketika kolonialisme menjadi rujukan sejarah bangsa ini. Bukankah masing2 wilayah di nusantara ditaklukkan belanda dalam rentang waktu yang tidak bersamaan. Bukankah masing2 wilayah seringkali acuh ketika melihat tetangganya habis dibantai kolonial sambil berharap2 cemas kolonial tidak akan menghampiri mereka.
Kolonialisme adalah harga mati bagi kelamnya sejarah bangsa ini. Namun catatan yang tidak boleh dilupakan bahwa kolonialisme tidak bisa dijadikan patokan bagi nation-state. Ada beragam masalah yang tidak kunjung diselesaikan bagi terciptanya paham nation-state yang lebih cerdas. Mungkin, bisa jadi inilah adalah kesengajaan politis. Namun yang perlu dijadikan catatan bahwa ketika kolonialisme terus menerus menjadi determinan sejarah, maka mental inlander akan seterusnya hinggap pada mindset generasi penerus.
Masa lalu bangsa ini bersimbah dengan cerita heroik melawan kaum penjajah. Setiap daerah memiliki sendiri cerita2 kepahlawanan yang terus dijaga spirit heroismenya hingga kini.
Ini merupakan fenomena yang tidak bisa dianggap salah, sebenarnya. Sampai suatu ketika mitos kepahlawanan itu dipaksakan menjadi identitas untuk membentuk khayali yang kemudian kita kenal sebagai Indonesia.
Kebangsaan yang kita kenal sebagai Indonesia dibangun berdasarkan sentimen sesama korban kolonial. Perasaan sentimentil ini yang menjadi spirit paham kebangsaan yang bertahan hingga sekarang. Meskipun, secara ironis paham ini berkembang menjadi kesadaran bersama setelah ratusan tahun Belanda mondar-mandir di belahan Nusantara.
Kesadaran ini yang kemudian membuat sejarah bangsa ini terjebak pada idiom perjuangan untuk mengusir penjajah dari nusantara. Tidak salah memang, namun pemaksaan pengertian seperti ini membawa pada sebuah kesadaran palsu atas masa lalu.
Pertanyaanya, perjuangan mengusir penjajah apakah merupakan tindakan reflektif atas nama nation-state sebagaimana kita pahami sekarang?
Nasionalisme, begitu Ben Anderson menulis, merupakan hasil dari imajinasi massal yang kemudian membentuk komunitas terbayang (imagined community). Kesadaran inilah yang kemudian membentuk sebuah solidaritas massal berdasarkan sentimen tertentu. Nasionalisme menerobos wilayah kognitif individu melalui serangkaian tindakan terstruktur secara massal. Dalam hal ini, nasionalisme telah menjadi arketipe dari sebuah proses pemahaman bersama. Nasionalisme dalam wilayah politik kontemporer merupakan sebuah ketaksadaran massal yang dikelola oleh elit2 yang berkepentingan.
Pandangan psikoanalitik semacam ini tidaklah bermaksud untuk mencerabut nasinalisme dari konteks nation-state, sebaliknya psikoanalitik akan membawa nasionalisme pada ranah perbincangan demi koreksi atas sikap ber-nasional-isme.
Kolonialisme adalah romantiksentimentil yang melatarbelakangi terbentuknya bangsa Indonesia. Masing2 bangsa yang beranung di bawah NKRI memiliki catatan sejarah mengenai perjuangan melawan kolonial. Sebelum melewati abad 20, kesadaran yang terbangun adalah melawan kolonial keluar dari wilayah masing2. Saat itu konteks perjuangan yang bersifat kedaerahan merupakan fakta sejarah yang seringkali diingkari motivasinya.
Sampai saat ini, melewati berbagai momen kebangsaan, fakta2 sejarah itu terus dipahami sebagai sebuah perjaungan nasional melawan kolonial. Pahlawan2 dari masing2 daerah terus ditinjolkan demi simbol heroik sebuah daerah. Disinilah letak kekeliruan ketika kolonialisme menjadi rujukan sejarah bangsa ini. Bukankah masing2 wilayah di nusantara ditaklukkan belanda dalam rentang waktu yang tidak bersamaan. Bukankah masing2 wilayah seringkali acuh ketika melihat tetangganya habis dibantai kolonial sambil berharap2 cemas kolonial tidak akan menghampiri mereka.
Kolonialisme adalah harga mati bagi kelamnya sejarah bangsa ini. Namun catatan yang tidak boleh dilupakan bahwa kolonialisme tidak bisa dijadikan patokan bagi nation-state. Ada beragam masalah yang tidak kunjung diselesaikan bagi terciptanya paham nation-state yang lebih cerdas. Mungkin, bisa jadi inilah adalah kesengajaan politis. Namun yang perlu dijadikan catatan bahwa ketika kolonialisme terus menerus menjadi determinan sejarah, maka mental inlander akan seterusnya hinggap pada mindset generasi penerus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar