"ing sakjeroning sepi kui ono ajaran luhur lan tumindak wicaksono kang dadi pinuju kabecikan-di dalam kerendahan hati itu ada ajaran luhur dan tindakan bijaksana yang menjadi tujuan kebajikan"

Minggu, 10 Januari 2016

Tentang Penaklukkan

Sebenarnya ini merupakan wacana yang sudah lama menjadi keprihatinan banyak orang di berbagai belahan bumi ini. Menyoal kerusakan lingkungan yang semakin parah dan hanya menyisakan rasa prihatin belaka. Bagaimana mungkin, bumi ini, rumah dan kehidupan bagi seluruh umat manusia, terus mengalami pengrusakan dari waktu ke waktu, demi satu tujuan, kesejahteraan manusia itu sendiri.

Puluhan tahun silam, sekelompok orang di Universitas Frankfurt, Jerman, mendirikan sejenis “komunitas terbatas” yang di kemudian hari terkenal sebagai Sekolah Frankfurt. Komunitas terbatas ini terdiri dari orang-orang dari lintas disiplin ilmu. Pembicaraan mereka adalah mengenai berbagai masalah sosial yang terus menghinggapi manusia modern.

Salah satu pembicaraan mereka menghasilkan apa yang disebut dengan rasio teknis, atau yang dikenal juga dengan rasio instrumental. Rasio teknis adalah bagaimana manusia modern memandang lingkungan sekitarnya. Dalam sudut pandang rasio teknis, alam adalah obyek yang harus ditaklukkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Penaklukkan alam dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia dalam sudut pandang industrialisasi. Filsafat modern yang berhasil menemukan jalannya di Eropa Barat kemudian berakibat pada revolusi industri. Para anggota Sekolah Frankfurt menganggap rasio teknis inilah yang mengakibatkan eksploitasi tanpa batas dan mengakibatkan tidak hanya bencana alam tetapi juga bencana kemanusiaan (kelaparan, urbanisasi, dan berbagai masalah sosial lainnya).

Revolusi industri adalah wajah yang tidak pernah ada dalam sejarah peradaban umat manusia sebelumnya. Belum pernah ada proses produksi massal yang mampu menandingi revolusi industri. Baik teknologi yang digunakan, bahan baku hasil eksploitasi alam, dan produk-produknya yang mampu melintasi penjuru dunia.

Industrialisasi yang ada sekarang ini, adalah hasil dari perkembangan revolusi industri yang mengharuskan eksploitasi terhadap alam, bahkan manusia. Perkembangan revolusi industri telah menghasilkan kelas sosial baru yang disebut dengan kelas buruh. Pada tahap berikutnya, kelas buruh ini terbagi menjadi dua, buruh kerah biru dan buruh kerah putih.

Buruh kerah biru adalah pekerja kasar yang berhubungan dengan proses produksi. Mereka ini diambil dari kelompok yang berpendidikan rendah dan hanya dibutuhkan tenaganya saja. Jumlah mereka sangat banyak, bahkan hingga ribuan tergantung dari kapasitas produksi pabrik tempat mereka bekerja. Gaji mereka pun terbilang kecil. Sedangkan buruh kerah putih adalah staf-staf ahli dari kelompok berpendidikan tinggi. Mereka adalah lulusan universitas dan terdiri dari para insinyur, ahli ekonomi, staf-staf pemasaran, atau para peneliti. Jumlah mereka lebih sedikit daripada buruh kerah biru. Gaji para buruh kerah putih ini tentu jauh lebih besar daripada buruh kerah biru.

Kembali lagi ke soal penaklukan alam. Rasio teknis bagaimanapun menghendaki bagaimana alam ini bisa di eksploitasi semaksimal mungkin. Eksploitasi alam tidak hanya didukung oleh para staf ahli yang kompeten, tetapi juga melibatkan perangkat aparatur negara melalui undang-undang. Raksasa-raksasa industri memiliki akses ke pemerintahan, hingga ke pemerintahan negara lain. Akses-akses ini memungkinkan berbagai raksasa industri tersebut memiliki legalitas untuk melakukan eksploitasi alam. Misalnya izin untuk melakukan penebangan hutan, pengeboran minyak dan gas, penambangan mineral, penangkapan ikan, atau membuat perkebunan sekala besar.

Eksploitasi alam ini, sebagaimana menggunakan sudut pandang rasio teknis, adalah bersifat memandang alam sebagai obyek. Manusia kemudian melihat alam adalah sekedar benda mati yang begitu di eksploitasi tidak akan memiliki dampak apa-apa selain keuntungan ekonomi. Cara berfikir rasio teknis ini, tidak hanya menghinggapi mereka yang menjadi pemilik raksasa industri, tetapi telah sampai kepada mereka yang bergelut dalam industri skala kecil. Penaklukkan alam pun semakin banyak dilakukan hingga ke pelosok manapun.

Bagaimanapun juga, penaklukkan alam ini memberikan dampak merugikan bagi manusia. Setelah tiba waktunya, manusia merasa bahwa eksploitasi yang mereka lakukan telah membawa kerugian. Sumber daya alam semakin menipis dan ini mengkawatirkan banyak pihak. Menipisnya berbagai sumber daya alam ini membuat sebagian pihak malah giat melakukan eksplorasi ke belahan dunia lainnya. Sebagian lainnya menyadari bahwa nafsu mengeksploitasi alam harus mulai dikendalikan.
Kerusakan alam yang ditimbulkan oleh eksploitasi ini memunculkan kesadaran untuk menyelamatkan lingkungan. Banyak gerakan atau isu-isu bermunculan mengenai penyelamatan lingkungan. Bahkan muncul pula gerakan untuk menyelamatkan bumi. Tentu saja gerakan atau isu ini terkesan naif. Penyelamatan bumi tidak lain adalah untuk kepentingan keselamatan manusia. Harus hidup dimana manusia kalau tidak di bumi. Bumi adalah rumah satu-satunya bagi manusia.

Bumi, adalah bagian alam semesta yang memiliki aturan main sendiri jauh sebelum umat manusia menempatinya. Segala bentuk fenomena alam yang ada di bumi adalah bagaimana mekanisme keseimbangan alam berlaku di bumi. Begitu pula dengan yang disebut sebagai bencana alam. Banjir misalnya, adalah proses keseimbangan alam ketika tanah tidak mampu menyerap air di permukaan akibat gundulnya hutan dan mendangkalnya sungai-sungai akibat sampah yang menumpuk. Hal-hal seperti ini sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai bencana alam. Tentu saja, eksploitasi alam yang berlebihan menghasilkan masalah bagi manusia itu sendiri. Banjir, tanah longsor, kekeringan, adalah bagaimana bumi bereaksi dengan kondisi yang ada. Tanpa campur tangan manusia sekalipun, bumi sudah memiliki mekanisme sendiri untuk melakukan keseimbangan. Gempa, letusan vulkanik, atau tsunami, adalah gejolak alam yang sudah menjadi bagian dari bumi.

Eksploitasi alam secara berlebihan didasari oleh pemahaman bahwa alam ini adalah obyek. Pemahaman yang dilatarbelakangi revolusi industri ini terus tertanam kuat dalam alam fikiran manusia hingga sekarang. Pemahaman ini juga tertanam kuat di masyarakat Indonesia. Jenis pola fikir ini sebenarnya sangat bertolak belakang dengan pemahaman klasik masyarakat di Indonesia. Pemahaman klasik masyarakat di Indonesia, memandang alam adalah subyek sebagaimana manusia itu sendiri. Memperlakukan alam tidak bisa dilakukan dalam kerangka eksploitasi belaka, tetapi juga menjaga bagaimana keseimbangan tetap terjaga. Sebagian masyarakat di Indonesia, terutama Jawa, meyakini bahwa alam memiliki ruh. Alam bukanlah benda mati tanpa ruh. Alam memiliki ruh yang merupakan dimensi ruhaniyah alam dari sang penciptanya. Dalam hal ini, masyarakat Jawa klasik akan memanfaatkan alam secukupnya tanpa perlu adanya eksploitasi. Menjaga keseimbangan alam merupakan cara bagaimana masyarakat Jawa berinteraksi dengan lingkungannya.

Sekolah Frankfurt pun sudah mengatakan perlu rasio kritis, untuk menempatkan manusia pada posisi yang seimbang dalam hubungan dengan alam dan lingkungannya. Berbagai bencana alam dan kemanusiaan adalah akibat dari rasio teknis yang mendorong manusia bersikap tidak sewajarnya pada lingkungannya.

Namun, jauh sebelum Sekolah Frankfurt menyampaikan ide rasio kritis ini, masyararakat di belahan bumi bagian Timur, telah bersikap bagaimana menempatkan dirinya secara selaras dengan alam sekitarnya. Nilai-nilai masih banyak ditemukan pada berbagai tempat di pelosok Jawa. Bagaimana masyarakat Jawa melakukan sedekah alam, sesajen adalah bukan untuk menyembah selain dari-Nya, tetapi merupakan hubungan timbal balik yang selaras antara manusia dengan lingkungannya.

Di wilayah Gunung Kidul misalnya, ada larangan untuk memancing atau menangkap jenis ikan sidat. Larangan ini bukan karena sidat adalah jenis ikan yang keramat. Namun, masyarakat di Gunung Kidul memahami sidat mampu menghasilkan sumber-sumber air. Sungai-sungai atau sumber air yang terdapat ikan sidat akan lebih terjaga debit airnya pada musim kemarau karena ikan sidat memiliki perilaku untuk menggali sumber air begitu musim kemarau tiba. Karena itulah, memancing atau menangkap sidat dilarang mengingat Gunung Kidul adalah daerah yang rawan kekeringan ketika kemarau tiba. Tanahnya yang berupa kapur dan bebatuan sulit untuk menemukan sumber-sumber air. Berbeda dengan wilayah lainnya yang cukup mudah menemukan sumber air.

 Masyarakat Jawa klasik memahami bahwa harus ada hubungan yang bersifat timbal balik antara dirinya dengan alamnya. Hubungan timbal balik ini akan menempatkan manusia sebagai subyek dan alam juga sebagai subyek. Hubungan antara subyek dan subyek menghasilkan interaksi yang adil sehingga harmonisasi antara manusia dan lingkungannya bisa tercapai. Alam bukanlah obyek yang harus ditaklukkan, tetapi subyek yang harus diperlakukan secara bijak.


Tidak ada komentar: