"ing sakjeroning sepi kui ono ajaran luhur lan tumindak wicaksono kang dadi pinuju kabecikan-di dalam kerendahan hati itu ada ajaran luhur dan tindakan bijaksana yang menjadi tujuan kebajikan"

Selasa, 05 Januari 2016

Harga “Kemajuan”


Belum lama ini, saya pergi memancing di Pantai Ngeden, lebih tepatnya saya diajak memancing. Pantai yang baru beranjak “dijual” ini berada di Kecamatan Panggang, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pantai Ngeden merupakan pantai khas pesisir selatan Jawa, memiliki tebing yang tinggi, berombak cukup deras, dan lebih dalam dari perairan di utara Jawa. 

Saya berangkat bersama para pemancing senior dari Lempuyangan pada sore hari dan tiba menjelang maghrib di lokasi pantai. Suasana sudah remang-remang dan bersama rombongan langsung menuju lokasi. Dari tempat parkir menuju lokasi memancing dibutuhkan waktu sekitar 15 menit dengan berjalan kaki. Kami memancing dari sisi tebing sambil menikmati deburan ombak yang keras dan temaram cahaya bulan yang terkadang ditutupi awan.

Tetapi, bukan tentang memancing ini yang akan saya ceritakan. Awalnya begini, kami memutuskan pulang dari memancing pukul 3 dinihari. Dalam kegelapan yang hanya mengandalkan cahaya dari lampu sepeda motor kami menyusuri jalanan yang dibeton dan belum cukup layak untuk dijadikan sarana menuju tempat wisata. Beberapa menit kemudian, kami melewati dusun dengan deretan rumah yang masih agak jarang namun sudah diterangi oleh listrik. Sore hari tadi ketika hari masih cukup terang,  pada saat kami berangkat menuju lokasi memancing, dusun-dusun tersebut tergambarkan sebagaimana suasana pelosok Jawa pada umumnya. Aktivitas masyarakat dengan ladang dan ternak-ternaknya, anak-anak kecil, dan bau khas sampah organik yang dibakar. Tentu saja ada perkecualian, yaitu penampilan remaja yang sudah mulai khas anak kota. Gadis-gadis usia belasan yang mulai pakai hot pant naik motor matic atau remaja pria dengan gaya trendy dan motornya.

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari deretan rumah-rumah tersebut. Tipikal rumah di dusun yang dibangun semi permanen. Beberapa di antaranya sudah ada yang permanen dan beberapa lainnya masih terbuat dari papan kayu. Pada sekitar pukul 3 dinihari, rumah-rumah tersebut terlihat sunyi, begitu pula dengan lingkungan di sekitarnya.

Menariknya adalah ketika pada beberapa rumah saya melihat sepeda motor diparkir begitu saja, baik di teras rumah maupun di halaman. Tepatnya, bukan pula sepeda motor tersebut yang menarik perhatian saya. Motor-motor tersebut adalah jenis motor yang pada umumnya ditemui di tempat-tempat lainnya, baik dari jenis matic maupun bebek.

Menariknya tentu saja terletak pada bagaimana masyarakat menaruh harta benda mereka yang harganya terbilang mahal tersebut begitu saja. Meskipun tidak bisa dikatakan barang mewah, sepeda motor setidaknya memiliki harga jutaan. Bukan jumlah uang yang sedikit bagi masyarakat kebanyakkan di Indonesia.

Bagi sebagian masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pelosok, lingkungan sekitarnya merupakan wilayah yang harmonis dan ada upaya saling menjaga satu sama lainnya. Lingkungan sosial yang terbentuk dihasilkan dari rasa saling percaya yang cukup tinggi antara satu sama lainnya. Proses pembentukkan lingkungan sosial ini tidak terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi membutuhkan waktu yang panjang, seiring mulai munculnya manusia yang hidup berkelompok.

Pembentukan lingkungan sosial ini terjadi dalam berbagai tahap. Karakter masyarakat Jawa tradisionalis yang harmonis dan lebih mengutamakan untuk mengantisipasi konflik sosial daripada bersitegang mengatasi konflik menghasilkan pranata sosial yang sifatnya lentur. Adat istiadat atau hukum yang dibuat lebih banyak berupa antisipasi konflik daripada mengatasi konflik. Namun, bagaimanapun juga letupan konflik tetap saja bisa terjadi sebagai bagian dari dinamika masyarakat maupun manusia sebagai individu. Proses penyelesaian konflik dalam masyakarat Jawa lebih bersifat mufakat dan mengedapankan sistem kekeluargaan. Hanya hal yang sifatnya kepentingan politik praktis yang bisa memicu terjadinya pertumpahan darah dalam masyarakat Jawa.

Segala bentuk adat istiadat atau hukum yang digunakan oleh masyarakat Jawa memiliki dimensi spiritualitas sebagai bagian tertinggi dari pranata sosial tersebut. Terlepas dari pengaruh datangnya agama monoteistik, masyarakat Jawa telah memiliki dimensi spiritualis sebagai panduan untuk interaksi sosialnya. Sifat tenggang rasa dalam lingkungan sosial lebih diutamakan daripada kepentingan materialistik. Bentuk penghormatan yang diperoleh dari lingkungan sosialnya adalah bagaimana perilakunya dalam interaksi sosial.

Dalam tradisi klasik pergaulan masyarakat di Jawa, materi akan membawa kehormatan jika pemiliknya mampu bersikap seusai dengan adat atau hukum yang disepakati. Dalam konteks ini, keluasan ilmu seseorang lebih diutamakan  karena ilmu itulah yang akan membuat perilaku seseorang mampu menjaga dirinya untuk mengganggu lingkungan sosialnya. Ilmu dan perilaku adalah satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan dalam pengertian Jawa. Ilmu diperoleh dari hasil pengalaman dan kontemplasi seseorang untuk menempatkan dirinya agar tidak menjadi “masalah” bagi orang lainnya. Dalam sudut pandang ini pemahaman Jawa agak bertentangan dengan keilmuan modern yang cenderung memisahkan intelejensia dengan perilaku. Bahwa seseorang yang memiliki pendidikan tinggi tidak selalu mampu bersikap menjaga dirinya agar tidak menjadi masalah bagi orang lainnya. Bagi Jawa tradisionalis, hal ini tidak bisa dibenarkan karena ilmu akan membawa manusia pada keluasan luhur dan penjaga lingkungan sosialnya. Dengan demikian, akan muncul tingkat kepercayaan yang tinggi satu sama lainnya dan lingkungan sosial yang sehat pun akan tercipta. Tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya tentu saja akan memunculkan rasa aman.

Kembali ke Pantai Ngeden. Pantai yang dalam proses untuk dijadikan obyek wisata ini mulai dipermak beberapa bagiannya. Pembangunan infrastruktur mulai dilakukan meskipun terbilang pelan-pelan. Hal ini tentu saja sangat bagus untuk “kemajuan” masyarakat di sekitarnya. Nantinya, masyarakat tidak hanya akan menikmati infrastruktur yang semakin memadai, tetapi juga perkembangan ekonomi yang semakin baik. Meningkatnya ekonomi tentu saja akan membuat masyarakat lebih sejahtera.

Dalam sudut pandang kekinian, hal ini akan terlihat sebagai hal yang baik dan musti dilakukan. Bahwa pariwisata adalah salah satu alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, pariwisata juga akan “memberdayakan” – istilah yang kelewat mewah dan naif --  masyarakat agar memperoleh taraf hidup yang semakin baik. Benarkah harus seperti itu? Jawabannya sepintas iya.

Mari kita belajar pada apa yang terjadi di Parangtritis dan Parangkusumo. Parangtritis, pantai tujuan wisata nasional tersebut mendatangkan turis hingga puluhan ribu dalam setahun. Ekonomi berkembang pesat, infrastrutur terus diperbaiki, dan perputaran uang yang tentu saja sangat fantastis. Jika menggunakan ekonomi sebagai satu-satunya tujuan, maka apa yang terjadi di Parangtritis sangat layak dijadikan contoh. Begitu pula yang terjadi di Parangkusumo. Semakin banyak penginapan dengan harga lumayan mahal hingga lumayan murah.

Namun ada yang telah hilang dari Parangtritis dan Parangkusumo. Sesuatu yang mungkin entah berapa generasi membangunnya. Harmoni dalam tradisi Jawa tidak bisa lagi ditemukan. Harmoni dalam pengertian Jawa adalah bukan mendiamkan hal yang tidak baik, tetapi yang utama adalah bagaimana individu mampu berperilaku agar tidak mendatangkan masalah bagi individu lainnya. Demi pengembangan yang sifatnya ekonomis, pranata sosial Jawa yang usianya ribuan tahun tersebut entah lenyap kemana. Bagaimana mungkin kemajuan yang dikejar-kejar tersebut justru menghancurkan kemajuan Jawa yang telah dibangun dalam bilangan milenium. Tidak ada pemandangan layaknya Jawa tradisional. Segala bentuk hal yang demi kelancaran pariwisata diperbolehkan, apa pun diperbolehkan selama itu demi kemajuan ekonomis.

Kembali lagi ke Pantai Ngeden. Pantai ini dari segi alamnya sangat bisa menjadi Parangtritis atau Parangkusumo “tandingan”. Bahkan bisa menyalip jika pemasaran dilakukan dengan lebih lihai sesuai dengan prinsip marketing modern. Bisa dibayangkan ke depan, di sekitar Pantai Ngeden akan muncul banyak penginapan dari segala harga, munculnya berbagai toko souvenir atau warung makanan. Perilaku yang semakin permisif. Ditambah lagi dengan pembangunan infrastruktur yang semakin “wah”. Namun, jika semua hal tersebut harus dibayar dengan hilangnya harmonisasi Jawa yang telah dibangun selama ribuan tahun, apakah itu harga yang sepadan? Ah, saya rasa itu harga yang terlalu mahal! Masyarakat di sekitar Pantai Ngeden tentu tidak bisa lagi sembarangan memarkir motornya malam-malam di halaman atau teras rumah dan kemudian ditinggal tidur nyenyak begitu saja.

Tidak ada komentar: