Belum lama ini, saya pergi memancing di Pantai Ngeden, lebih tepatnya saya diajak memancing. Pantai yang baru beranjak “dijual” ini berada di Kecamatan Panggang, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pantai Ngeden merupakan pantai khas pesisir selatan Jawa, memiliki tebing yang tinggi, berombak cukup deras, dan lebih dalam dari perairan di utara Jawa.
Saya berangkat bersama para pemancing senior dari
Lempuyangan pada sore hari dan tiba menjelang maghrib di lokasi pantai. Suasana
sudah remang-remang dan bersama rombongan langsung menuju lokasi.
Dari tempat parkir menuju lokasi memancing dibutuhkan waktu sekitar 15 menit
dengan berjalan kaki. Kami memancing dari sisi tebing sambil menikmati deburan
ombak yang keras dan temaram cahaya bulan yang terkadang ditutupi awan.
Tetapi, bukan tentang memancing ini yang akan saya
ceritakan. Awalnya begini, kami memutuskan pulang dari memancing pukul 3
dinihari. Dalam kegelapan yang hanya mengandalkan cahaya dari lampu sepeda
motor kami menyusuri jalanan yang dibeton dan belum cukup layak untuk dijadikan
sarana menuju tempat wisata. Beberapa menit kemudian, kami melewati dusun
dengan deretan rumah yang masih agak jarang namun sudah diterangi oleh listrik.
Sore hari tadi ketika hari masih cukup terang, pada saat kami berangkat
menuju lokasi memancing, dusun-dusun tersebut tergambarkan sebagaimana suasana
pelosok Jawa pada umumnya. Aktivitas masyarakat dengan ladang dan
ternak-ternaknya, anak-anak kecil, dan bau khas sampah organik yang dibakar.
Tentu saja ada perkecualian, yaitu penampilan remaja yang sudah mulai khas anak
kota. Gadis-gadis usia belasan yang mulai pakai hot pant naik motor matic atau
remaja pria dengan gaya trendy dan motornya.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari deretan
rumah-rumah tersebut. Tipikal rumah di dusun yang dibangun semi permanen.
Beberapa di antaranya sudah ada yang permanen dan beberapa lainnya masih
terbuat dari papan kayu. Pada sekitar pukul 3 dinihari, rumah-rumah tersebut
terlihat sunyi, begitu pula dengan lingkungan di sekitarnya.
Menariknya adalah ketika pada beberapa rumah saya
melihat sepeda motor diparkir begitu saja, baik di teras rumah maupun di
halaman. Tepatnya, bukan pula sepeda motor tersebut yang menarik perhatian
saya. Motor-motor tersebut adalah jenis motor yang pada umumnya ditemui di
tempat-tempat lainnya, baik dari jenis matic maupun bebek.
Menariknya tentu saja terletak pada bagaimana
masyarakat menaruh harta benda mereka yang harganya terbilang mahal tersebut
begitu saja. Meskipun tidak bisa dikatakan barang mewah, sepeda motor
setidaknya memiliki harga jutaan. Bukan jumlah uang yang sedikit bagi
masyarakat kebanyakkan di Indonesia.
Bagi sebagian masyarakat Jawa yang tinggal di daerah
pelosok, lingkungan sekitarnya merupakan wilayah yang harmonis dan ada upaya
saling menjaga satu sama lainnya. Lingkungan sosial yang terbentuk dihasilkan
dari rasa saling percaya yang cukup tinggi antara satu sama lainnya. Proses
pembentukkan lingkungan sosial ini tidak terjadi dalam waktu yang singkat,
tetapi membutuhkan waktu yang panjang, seiring mulai munculnya manusia yang
hidup berkelompok.
Pembentukan lingkungan sosial ini terjadi dalam
berbagai tahap. Karakter masyarakat Jawa tradisionalis yang harmonis dan lebih
mengutamakan untuk mengantisipasi konflik sosial daripada bersitegang mengatasi
konflik menghasilkan pranata sosial yang sifatnya lentur. Adat istiadat atau
hukum yang dibuat lebih banyak berupa antisipasi konflik daripada mengatasi
konflik. Namun, bagaimanapun juga letupan konflik tetap saja bisa terjadi
sebagai bagian dari dinamika masyarakat maupun manusia sebagai individu. Proses
penyelesaian konflik dalam masyakarat Jawa lebih bersifat mufakat dan
mengedapankan sistem kekeluargaan. Hanya hal yang sifatnya kepentingan politik
praktis yang bisa memicu terjadinya pertumpahan darah dalam masyarakat Jawa.
Segala bentuk adat istiadat atau hukum yang
digunakan oleh masyarakat Jawa memiliki dimensi spiritualitas sebagai bagian
tertinggi dari pranata sosial tersebut. Terlepas dari pengaruh datangnya agama
monoteistik, masyarakat Jawa telah memiliki dimensi spiritualis sebagai panduan
untuk interaksi sosialnya. Sifat tenggang rasa dalam lingkungan sosial lebih
diutamakan daripada kepentingan materialistik. Bentuk penghormatan yang
diperoleh dari lingkungan sosialnya adalah bagaimana perilakunya dalam
interaksi sosial.
Dalam tradisi klasik pergaulan masyarakat di Jawa,
materi akan membawa kehormatan jika pemiliknya mampu bersikap seusai dengan
adat atau hukum yang disepakati. Dalam konteks ini, keluasan ilmu seseorang
lebih diutamakan karena ilmu itulah yang akan membuat perilaku seseorang
mampu menjaga dirinya untuk mengganggu lingkungan sosialnya. Ilmu dan perilaku
adalah satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan dalam pengertian Jawa.
Ilmu diperoleh dari hasil pengalaman dan kontemplasi seseorang untuk
menempatkan dirinya agar tidak menjadi “masalah” bagi orang lainnya. Dalam
sudut pandang ini pemahaman Jawa agak bertentangan dengan keilmuan modern yang
cenderung memisahkan intelejensia dengan perilaku. Bahwa seseorang yang
memiliki pendidikan tinggi tidak selalu mampu bersikap menjaga dirinya agar
tidak menjadi masalah bagi orang lainnya. Bagi Jawa tradisionalis, hal ini
tidak bisa dibenarkan karena ilmu akan membawa manusia pada keluasan luhur dan
penjaga lingkungan sosialnya. Dengan demikian, akan muncul tingkat kepercayaan
yang tinggi satu sama lainnya dan lingkungan sosial yang sehat pun akan
tercipta. Tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya tentu
saja akan memunculkan rasa aman.
Kembali ke Pantai Ngeden. Pantai yang dalam proses
untuk dijadikan obyek wisata ini mulai dipermak beberapa bagiannya. Pembangunan
infrastruktur mulai dilakukan meskipun terbilang pelan-pelan. Hal ini tentu
saja sangat bagus untuk “kemajuan” masyarakat di sekitarnya. Nantinya,
masyarakat tidak hanya akan menikmati infrastruktur yang semakin memadai,
tetapi juga perkembangan ekonomi yang semakin baik. Meningkatnya ekonomi tentu
saja akan membuat masyarakat lebih sejahtera.
Dalam sudut pandang kekinian, hal ini akan terlihat
sebagai hal yang baik dan musti dilakukan. Bahwa pariwisata adalah salah satu
alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, pariwisata juga akan
“memberdayakan” – istilah yang kelewat mewah dan naif -- masyarakat agar
memperoleh taraf hidup yang semakin baik. Benarkah harus seperti itu? Jawabannya
sepintas iya.
Mari kita belajar pada apa yang terjadi di
Parangtritis dan Parangkusumo. Parangtritis, pantai tujuan wisata nasional
tersebut mendatangkan turis hingga puluhan ribu dalam setahun. Ekonomi
berkembang pesat, infrastrutur terus diperbaiki, dan perputaran uang yang tentu
saja sangat fantastis. Jika menggunakan ekonomi sebagai satu-satunya tujuan,
maka apa yang terjadi di Parangtritis sangat layak dijadikan contoh. Begitu
pula yang terjadi di Parangkusumo. Semakin banyak penginapan dengan harga
lumayan mahal hingga lumayan murah.
Namun ada yang telah hilang dari Parangtritis dan
Parangkusumo. Sesuatu yang mungkin entah berapa generasi membangunnya. Harmoni
dalam tradisi Jawa tidak bisa lagi ditemukan. Harmoni dalam pengertian Jawa
adalah bukan mendiamkan hal yang tidak baik, tetapi yang utama adalah bagaimana
individu mampu berperilaku agar tidak mendatangkan masalah bagi individu
lainnya. Demi pengembangan yang sifatnya ekonomis, pranata sosial Jawa yang
usianya ribuan tahun tersebut entah lenyap kemana. Bagaimana mungkin kemajuan
yang dikejar-kejar tersebut justru menghancurkan kemajuan Jawa yang telah
dibangun dalam bilangan milenium. Tidak ada pemandangan layaknya Jawa
tradisional. Segala bentuk hal yang demi kelancaran pariwisata diperbolehkan,
apa pun diperbolehkan selama itu demi kemajuan ekonomis.
Kembali lagi ke Pantai Ngeden. Pantai ini dari segi
alamnya sangat bisa menjadi Parangtritis atau Parangkusumo “tandingan”. Bahkan
bisa menyalip jika pemasaran dilakukan dengan lebih lihai sesuai dengan prinsip
marketing modern. Bisa dibayangkan ke depan, di sekitar Pantai Ngeden akan
muncul banyak penginapan dari segala harga, munculnya berbagai toko souvenir
atau warung makanan. Perilaku yang semakin permisif. Ditambah lagi dengan
pembangunan infrastruktur yang semakin “wah”. Namun, jika semua hal tersebut
harus dibayar dengan hilangnya harmonisasi Jawa yang telah dibangun selama
ribuan tahun, apakah itu harga yang sepadan? Ah, saya rasa itu harga yang
terlalu mahal! Masyarakat di sekitar Pantai Ngeden tentu tidak bisa lagi
sembarangan memarkir motornya malam-malam di halaman atau teras rumah dan
kemudian ditinggal tidur nyenyak begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar