Sebenarnya ini merupakan wacana yang sudah lama menjadi keprihatinan banyak
orang di berbagai belahan bumi ini. Menyoal kerusakan lingkungan yang semakin
parah dan hanya menyisakan rasa prihatin belaka. Bagaimana mungkin, bumi ini,
rumah dan kehidupan bagi seluruh umat manusia, terus mengalami pengrusakan dari
waktu ke waktu, demi satu tujuan, kesejahteraan manusia itu sendiri.
Puluhan tahun silam, sekelompok orang di Universitas
Frankfurt, Jerman, mendirikan sejenis “komunitas terbatas” yang di kemudian
hari terkenal sebagai Sekolah Frankfurt. Komunitas terbatas ini terdiri dari
orang-orang dari lintas disiplin ilmu. Pembicaraan mereka adalah mengenai
berbagai masalah sosial yang terus menghinggapi manusia modern.
Salah satu pembicaraan mereka menghasilkan apa yang disebut
dengan rasio teknis, atau yang dikenal juga dengan rasio instrumental. Rasio
teknis adalah bagaimana manusia modern memandang lingkungan sekitarnya. Dalam
sudut pandang rasio teknis, alam adalah obyek yang harus ditaklukkan untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Penaklukkan alam dilakukan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan manusia dalam sudut pandang industrialisasi. Filsafat modern yang
berhasil menemukan jalannya di Eropa Barat kemudian berakibat pada revolusi
industri. Para anggota Sekolah Frankfurt menganggap rasio teknis inilah yang
mengakibatkan eksploitasi tanpa batas dan mengakibatkan tidak hanya bencana
alam tetapi juga bencana kemanusiaan (kelaparan, urbanisasi, dan berbagai
masalah sosial lainnya).
Revolusi industri adalah wajah yang tidak pernah ada dalam
sejarah peradaban umat manusia sebelumnya. Belum pernah ada proses produksi
massal yang mampu menandingi revolusi industri. Baik teknologi yang digunakan,
bahan baku hasil eksploitasi alam, dan produk-produknya yang mampu melintasi
penjuru dunia.
Industrialisasi yang ada sekarang ini, adalah hasil dari
perkembangan revolusi industri yang mengharuskan eksploitasi terhadap alam,
bahkan manusia. Perkembangan revolusi industri telah menghasilkan kelas sosial
baru yang disebut dengan kelas buruh. Pada tahap berikutnya, kelas buruh ini
terbagi menjadi dua, buruh kerah biru dan buruh kerah putih.
Buruh kerah biru adalah pekerja kasar yang berhubungan
dengan proses produksi. Mereka ini diambil dari kelompok yang berpendidikan
rendah dan hanya dibutuhkan tenaganya saja. Jumlah mereka sangat banyak, bahkan
hingga ribuan tergantung dari kapasitas produksi pabrik tempat mereka bekerja.
Gaji mereka pun terbilang kecil. Sedangkan buruh kerah putih adalah staf-staf
ahli dari kelompok berpendidikan tinggi. Mereka adalah lulusan universitas dan
terdiri dari para insinyur, ahli ekonomi, staf-staf pemasaran, atau para
peneliti. Jumlah mereka lebih sedikit daripada buruh kerah biru. Gaji para
buruh kerah putih ini tentu jauh lebih besar daripada buruh kerah biru.
Kembali lagi ke soal penaklukan alam. Rasio teknis
bagaimanapun menghendaki bagaimana alam ini bisa di eksploitasi semaksimal
mungkin. Eksploitasi alam tidak hanya didukung oleh para staf ahli yang
kompeten, tetapi juga melibatkan perangkat aparatur negara melalui
undang-undang. Raksasa-raksasa industri memiliki akses ke pemerintahan, hingga
ke pemerintahan negara lain. Akses-akses ini memungkinkan berbagai raksasa
industri tersebut memiliki legalitas untuk melakukan eksploitasi alam. Misalnya
izin untuk melakukan penebangan hutan, pengeboran minyak dan gas, penambangan
mineral, penangkapan ikan, atau membuat perkebunan sekala besar.
Eksploitasi alam ini, sebagaimana menggunakan sudut pandang
rasio teknis, adalah bersifat memandang alam sebagai obyek. Manusia kemudian
melihat alam adalah sekedar benda mati yang begitu di eksploitasi tidak akan
memiliki dampak apa-apa selain keuntungan ekonomi. Cara berfikir rasio teknis
ini, tidak hanya menghinggapi mereka yang menjadi pemilik raksasa industri,
tetapi telah sampai kepada mereka yang bergelut dalam industri skala kecil.
Penaklukkan alam pun semakin banyak dilakukan hingga ke pelosok manapun.
Bagaimanapun juga, penaklukkan alam ini memberikan dampak
merugikan bagi manusia. Setelah tiba waktunya, manusia merasa bahwa eksploitasi
yang mereka lakukan telah membawa kerugian. Sumber daya alam semakin menipis
dan ini mengkawatirkan banyak pihak. Menipisnya berbagai sumber daya alam ini
membuat sebagian pihak malah giat melakukan eksplorasi ke belahan dunia
lainnya. Sebagian lainnya menyadari bahwa nafsu mengeksploitasi alam harus
mulai dikendalikan.
Kerusakan alam yang ditimbulkan oleh eksploitasi ini
memunculkan kesadaran untuk menyelamatkan lingkungan. Banyak gerakan atau
isu-isu bermunculan mengenai penyelamatan lingkungan. Bahkan muncul pula
gerakan untuk menyelamatkan bumi. Tentu saja gerakan atau isu ini terkesan
naif. Penyelamatan bumi tidak lain adalah untuk kepentingan keselamatan
manusia. Harus hidup dimana manusia kalau tidak di bumi. Bumi adalah rumah
satu-satunya bagi manusia.
Bumi, adalah bagian alam semesta yang memiliki aturan main
sendiri jauh sebelum umat manusia menempatinya. Segala bentuk fenomena alam
yang ada di bumi adalah bagaimana mekanisme keseimbangan alam berlaku di bumi.
Begitu pula dengan yang disebut sebagai bencana alam. Banjir misalnya, adalah
proses keseimbangan alam ketika tanah tidak mampu menyerap air di permukaan
akibat gundulnya hutan dan mendangkalnya sungai-sungai akibat sampah yang
menumpuk. Hal-hal seperti ini sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai bencana
alam. Tentu saja, eksploitasi alam yang berlebihan menghasilkan masalah bagi
manusia itu sendiri. Banjir, tanah longsor, kekeringan, adalah bagaimana bumi
bereaksi dengan kondisi yang ada. Tanpa campur tangan manusia sekalipun, bumi
sudah memiliki mekanisme sendiri untuk melakukan keseimbangan. Gempa, letusan
vulkanik, atau tsunami, adalah gejolak alam yang sudah menjadi bagian dari bumi.
Eksploitasi alam secara berlebihan didasari oleh pemahaman
bahwa alam ini adalah obyek. Pemahaman yang dilatarbelakangi revolusi industri
ini terus tertanam kuat dalam alam fikiran manusia hingga sekarang. Pemahaman
ini juga tertanam kuat di masyarakat Indonesia. Jenis pola fikir ini sebenarnya
sangat bertolak belakang dengan pemahaman klasik masyarakat di Indonesia.
Pemahaman klasik masyarakat di Indonesia, memandang alam adalah subyek
sebagaimana manusia itu sendiri. Memperlakukan alam tidak bisa dilakukan dalam
kerangka eksploitasi belaka, tetapi juga menjaga bagaimana keseimbangan tetap
terjaga. Sebagian masyarakat di Indonesia, terutama Jawa, meyakini bahwa alam
memiliki ruh. Alam bukanlah benda mati tanpa ruh. Alam memiliki ruh yang
merupakan dimensi ruhaniyah alam dari sang penciptanya. Dalam hal ini,
masyarakat Jawa klasik akan memanfaatkan alam secukupnya tanpa perlu adanya
eksploitasi. Menjaga keseimbangan alam merupakan cara bagaimana masyarakat Jawa
berinteraksi dengan lingkungannya.
Sekolah Frankfurt pun sudah mengatakan perlu rasio kritis,
untuk menempatkan manusia pada posisi yang seimbang dalam hubungan dengan alam
dan lingkungannya. Berbagai bencana alam dan kemanusiaan adalah akibat dari
rasio teknis yang mendorong manusia bersikap tidak sewajarnya pada
lingkungannya.
Namun, jauh sebelum Sekolah Frankfurt menyampaikan ide rasio
kritis ini, masyararakat di belahan bumi bagian Timur, telah bersikap bagaimana
menempatkan dirinya secara selaras dengan alam sekitarnya. Nilai-nilai masih
banyak ditemukan pada berbagai tempat di pelosok Jawa. Bagaimana masyarakat
Jawa melakukan sedekah alam, sesajen adalah bukan untuk menyembah selain
dari-Nya, tetapi merupakan hubungan timbal balik yang selaras antara manusia
dengan lingkungannya.
Di wilayah Gunung Kidul misalnya, ada larangan untuk
memancing atau menangkap jenis ikan sidat. Larangan ini bukan karena sidat
adalah jenis ikan yang keramat. Namun, masyarakat di Gunung Kidul memahami
sidat mampu menghasilkan sumber-sumber air. Sungai-sungai atau sumber air yang
terdapat ikan sidat akan lebih terjaga debit airnya pada musim kemarau karena
ikan sidat memiliki perilaku untuk menggali sumber air begitu musim kemarau
tiba. Karena itulah, memancing atau menangkap sidat dilarang mengingat Gunung
Kidul adalah daerah yang rawan kekeringan ketika kemarau tiba. Tanahnya yang
berupa kapur dan bebatuan sulit untuk menemukan sumber-sumber air. Berbeda
dengan wilayah lainnya yang cukup mudah menemukan sumber air.
Masyarakat Jawa klasik memahami bahwa harus ada hubungan
yang bersifat timbal balik antara dirinya dengan alamnya. Hubungan timbal balik
ini akan menempatkan manusia sebagai subyek dan alam juga sebagai subyek.
Hubungan antara subyek dan subyek menghasilkan interaksi yang adil sehingga
harmonisasi antara manusia dan lingkungannya bisa tercapai. Alam bukanlah obyek
yang harus ditaklukkan, tetapi subyek yang harus diperlakukan secara bijak.