"ing sakjeroning sepi kui ono ajaran luhur lan tumindak wicaksono kang dadi pinuju kabecikan-di dalam kerendahan hati itu ada ajaran luhur dan tindakan bijaksana yang menjadi tujuan kebajikan"

Jumat, 23 September 2011

SkizoFrenia soSIAL

#SZ(desember2005)
Skizofrenia pada awalnya istilah dalam psikoanalisis yang digunakan untuk menjelaskan fenomena psikis pada manusia. Namun dalam perkembangan wacana intelektual di Barat, istilah ini digunakan secara metaforis untuk menjelaskan fenomena yang lebih luas seperti fenomena bahasa ( Jacques Lacan), fenomena sosial, ekonomi dan politik (Deleuze & Guattari), dan fenomena estetik (Fredric Jameson). 


    Menurut Lacan, sebagaimana dikutip oleh Jameson, mendefinisikan skizofrenia sebagai “...putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ugkapan atau makna”. Definisi ini merupakan jawaban atas tantangan para pemikir post-strukturalis terhdap linguistik struktural Saussure. Petanda, yang dalam pemikiran strukturalis dikatakan makna dari satu ungkapan, oleh para postrukturalis dikatakan hanya sebagai efek makna, yaitu efek yang ditimbulkan sebagai akibat dari pergerakan atau dialog antara satu penanda dan penanda lainnya. Menurut Jameson, ketika hubungan penanda dan petanda, atau di antara penanda-penanda ini terganggu, yaitu ketika sambungan rantai pertandaan terputus, maka akan dihasilkan ungkapan skizofrenia, dalam bentyk serangkaian penanda yang tidak berkaitan satu sama lainnya.


   Skizofrenia menganggap kata-kata sama seperti benda-benda sebagai referensi, dengan pengertian, sebuah kata tidak lagi merepresentasikan sesuatu sebagai referensi, melainkan referensi itu sendiri sebagai kata. Oleh sebab itu seorang skizofrenia tidak mengenal aku atau saya untuk merepresentasikan dirinya dalam bahasa, sebab ia menganggap dirinya setara dengan objek dan kata. Bahasa skizofrenia mencirikan tidak terikatnya satu penanda pada satu petanda. Dalam pandangan Lacan tentang bahasa skizofrenik, penanda itu bukan wakil dari petanda, melainkan sama dengannya—petanda adalah sebuah penanda. 


    Anika Lemaire, seorang komentator Lacan, mengemukakan bahwa dalam bahasa skizofrenia semua kata atau penanda dapat digunakan untuk menyatakan konsep atau petanda. Dengan perkataan lain, konsep atau petanda tidak dikaitkan dengan satu penanda dengan cara yang stabil, dan dengan demikian, persimpangsiuran kata atau penanda untuk menyatakan satu konsep dimungkinkan.  Skizofrenia dengan demikian hidup di dalam satu dunia simbol yang berlapis-lapis, yang tidak memungkinkanya sampai pada satu makna absolut, sebagaimana diklaim oleh strukturalisme. Di wilayah seni misalnya, karya skizofrenik dapat dilihat dari keterputusan dialog di antara elemen-elemen dalam karya, yaitu tidak berkaitannya elemen-elemen tersebut satu sama lain, sehingga makna karya tersebut sulit untuk ditafsirkan. 


    Menurut Baudrillard, dalam konteks masyarakat posindustri, perkembangan bahasa skizofrenia adalah sebagai akibat dari munculnya keacakan dan interkoneksi informasi dan jaringan-jaringan komunikasi yang tanpa batas dan bersifat imanen. 


  Masyarakat posindustri yang dicirikan oleh komunikasi, produksi, dan konsumsi melimpah ruah—iklan, televisi, fashion, dan sebagainya—terbuka akan segala jenis makna, namun tidak dapat lagi merefleksikan kembali makna-makna tersebut dalam kehidupan spiritual. Mereka hidup dalam kegalauan hutan rimba tanda-tanda dan makna-makna, yang di dalamnya satu tanda dan tanda-tanda lainnya, atau satu makna dan makna-makna lainnya yang bersifat kontradiktif bisa hidup berdampingan di dalam diskursus dan komunikasi masyarakat posindustri, di dalam bahasa estetik. Di dalam diskursus seni posmodern, bahasa estetik skizofrenia merupakan salah satu bahasa yang dominan. Bahasa skizofrenia posmodern adalah bahasa yang dihasilkan dari persimpangsiuran penanda, gaya, dan ungkapan dalam satu karya, yang menghasilkan makna-makna kontradiktif, ambigu, terpecah, atau samar-samar. 


    YA. Piliang menganggap skizofrenia adalah sebuah gerakan pembebasan diri—khususnya gerakan pembebasan hasrat—dari berbagai kungkungan keluarga, masyarakat, negara, bahkan agama yang dianggap mengahalangi kebebasan total manusia manusia, yang dengan pelepasan tersebut berbagai aspek yang bersifat nonhuman pada diri manusia: insting, keinginan, hasarat, kekuatan, transformasi, dan mutasinya, dapat diberikan ruang hidupnya.  Bagi Piliang, masyarakat konsumer disebut juga sebagai masyarakat skizofrenik disebabkan ia adalah sebuah masyarakat, yang di dalamnya hasrat dibebaskan dari berbagai hal yang menghalanginya. Melalui berbagai kesenangan dan kepuasan yang disediakan di dalam benda-benda konsumsi. Benda-benda konsumsi dikonstruksi oleh kapitalisme menjadi sarana pelepasan berbagai keinginan dan kepuasan tanpa adanya pembatasan. 


    Felix Guattari menyebut konsumerisme sebagai sebuah ruang tempat berlangsungnya revolusi hasrat. Revolusi hasrat, sebagaimana Piliang mengutip Guattari, merupakan sebuah pergerakan dalam menghancurkan segala bentuk penekanan dan setiap model normalitas yang ada di dalam masyarakat. Revolusi hasrat membebaskan manusia dari berbagai aturan keluarga atau sosial, dari berbagai kepercayan atau ideologi, dan dari konsep diri dan identitas diri yang tetap dan pasti.     


    Piliang menegaskan bahwa konsumerisme adalah sebuah ruang tempat hasrat mengalir ke segala arah tanpa ada pengendalian (sosial, agama, moral). Hasrat bagaikan mutan yang selalu berubah wujud, berubah bentuk, berubah tanda, berubah kode, dan berubah makna. Tidak ada sebuah bentuk, tanda, kode, dan makna yang dibiarkan terpancang pada sebuah titik yang tetap dan pasti—semuanya harus bergerak, berpindah, berganti tempat layaknya seorang nomad. Sehingga, skizofrenia menjadi sebuah wacana produksi hasrat yang sangat produktif dan kreatif, tanpa perlu terikat oleh kedalaman makna dan identitas bentuk.  Skizofrenia, demikian tulis Piliang, mengkondisikan narasi kehidupan manusia untuk berpindah tanpa henti dari satu bentuk pelepasan hasrat ke bentk pelepasan hasrat berikutnya, dari satu kegairahan ke kegairahan berikutnya, dari satu kepuasan ke kepuasan berikutnya, dari satu citra ke citra berikutnya. Sehingga dalam terminologi skizofrenia yang ada hanya hasrat dan sosial, tidak ada lainnya.  


    Kecenderungan untuk mengalirnya hasrat tanpa interupsi, telah membawa masyarakat konsumer ke dalam hal yang disebut oleh Delleuze dan Guattari sebagai jagad deteritorialisasi, yaitu kondisi kehidupan yang tidak pernah berhenti pada sebuah kedudukan (sosial, spiritual, politik) yang tetap dan konsisten. Skizofrenia pada akhirnya hanya akan menghasilkan sebuah kondisi ketidakmungkinan identitas. Identitas hanya mungkin ada, ketika ada sebuah prinsip dasar (keyakinan, ideologi, ras) yang secara konsiten dipertahankan secara berkelanjuta oleh seorang individu, sebuah masyarakat, atau sebuah bangsa. 


  Skizofrenia justru melihat sebaliknya bahwa prinsip dasar tersebut dapat berubah, berpindah, dan bermutasi. Skizofrenia menerima segala bentuk identitas, diri, keyakinan, dan ideologi, meskipun satu sama lainnya bertentangan, selama semuanya dapat digiring ke medan permainan. Skizofrenia mencampuradukkan dua hal dua hal bertentangan, misalnya, tekun di tempat ibadah di satu waktu, dan hanyut di dalam ekstasi foya-foya di waktu yang lain. Skizofrenia tidak melihat kedua hal yang kontradiktif tersebut sebagai sesuatu yang perlu dipertentangkan. Skizofrenia melihat kontradiksi dengan pandangan acuh tak acuh—the cultural contradiction of schizophrenic. 
Sumber Pustaka:
Yasraf A Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003
---------------------, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Jalasutra, Yogyakarta, 2004
 

Kamis, 15 September 2011

determinisme KOLONIAL

#SZ(februari2009)
Masa lalu bangsa ini bersimbah dengan cerita heroik melawan kaum penjajah. Setiap daerah memiliki sendiri cerita2 kepahlawanan yang terus dijaga spirit heroismenya hingga kini.

Ini merupakan fenomena yang tidak bisa dianggap salah, sebenarnya. Sampai suatu ketika mitos kepahlawanan itu dipaksakan menjadi identitas untuk membentuk khayali yang kemudian kita kenal sebagai Indonesia.

Kebangsaan yang kita kenal sebagai Indonesia dibangun berdasarkan sentimen sesama korban kolonial. Perasaan sentimentil ini yang menjadi spirit paham kebangsaan yang bertahan hingga sekarang. Meskipun, secara ironis paham ini berkembang menjadi kesadaran bersama setelah ratusan tahun Belanda mondar-mandir di belahan Nusantara.

Kesadaran ini yang kemudian membuat sejarah bangsa ini terjebak pada idiom perjuangan untuk mengusir penjajah dari nusantara. Tidak salah memang, namun pemaksaan pengertian seperti ini membawa pada sebuah kesadaran palsu atas masa lalu.

Pertanyaanya, perjuangan mengusir penjajah apakah merupakan tindakan reflektif atas nama nation-state sebagaimana kita pahami sekarang?

Nasionalisme, begitu Ben Anderson menulis, merupakan hasil dari imajinasi massal yang kemudian membentuk komunitas terbayang (imagined community). Kesadaran inilah yang kemudian membentuk sebuah solidaritas massal berdasarkan sentimen tertentu. Nasionalisme menerobos wilayah kognitif individu melalui serangkaian tindakan terstruktur secara massal. Dalam hal ini, nasionalisme telah menjadi arketipe dari sebuah proses pemahaman bersama. Nasionalisme dalam wilayah politik kontemporer merupakan sebuah ketaksadaran massal yang dikelola oleh elit2 yang berkepentingan.

Pandangan psikoanalitik semacam ini tidaklah bermaksud untuk mencerabut nasinalisme dari konteks nation-state, sebaliknya psikoanalitik akan membawa nasionalisme pada ranah perbincangan demi koreksi atas sikap ber-nasional-isme.

Kolonialisme adalah romantiksentimentil yang melatarbelakangi terbentuknya bangsa Indonesia. Masing2 bangsa yang beranung di bawah NKRI memiliki catatan sejarah mengenai perjuangan melawan kolonial. Sebelum melewati abad 20, kesadaran yang terbangun adalah melawan kolonial keluar dari wilayah masing2. Saat itu konteks perjuangan yang bersifat kedaerahan merupakan fakta sejarah yang seringkali diingkari motivasinya.

Sampai saat ini, melewati berbagai momen kebangsaan, fakta2 sejarah itu terus dipahami sebagai sebuah perjaungan nasional melawan kolonial. Pahlawan2 dari masing2 daerah terus ditinjolkan demi simbol heroik sebuah daerah. Disinilah letak kekeliruan ketika kolonialisme menjadi rujukan sejarah bangsa ini. Bukankah masing2 wilayah di nusantara ditaklukkan belanda dalam rentang waktu yang tidak bersamaan. Bukankah masing2 wilayah seringkali acuh ketika melihat tetangganya habis dibantai kolonial sambil berharap2 cemas kolonial tidak akan menghampiri mereka.

Kolonialisme adalah harga mati bagi kelamnya sejarah bangsa ini. Namun catatan yang tidak boleh dilupakan bahwa kolonialisme tidak bisa dijadikan patokan bagi nation-state. Ada beragam masalah yang tidak kunjung diselesaikan bagi terciptanya paham nation-state yang lebih cerdas. Mungkin, bisa jadi inilah adalah kesengajaan politis. Namun yang perlu dijadikan catatan bahwa ketika kolonialisme terus menerus menjadi determinan sejarah, maka mental inlander akan seterusnya hinggap pada mindset generasi penerus.