“Alkisah, Markesot
pernah berguru kepada seorang pendekar Mataram. Sang pendekar memberinya sebuah
tombak yang panjang. Namun, bukan bagaimana cara menggunakan tombak tersebut,
sang pendekar malah memberinya petuah mengenai falsafah tombak tersebut. Pendekar
yang kurang sakti membutuhkan tombak yang panjang, pendekar yang lumayan sakti
menggunakan tombak yang pendek saja, dan pendekar yang paling sakti tidak
membutuhkan tombak, cukup tangan kosong!”
(Markesot, dalam Markesot Bertutur #1)
(Markesot, dalam Markesot Bertutur #1)
Tidak ada ketakutan,
kebencian, dan permusuhan yang ditebarkan oleh tangan yang kosong. Begitulah,
tangan yang kosong adalah tangan yang jujur. Tangan yang kosong tidak akan
menebarkan ancaman bagi sekelilingnya. Ia akan terbuka bagi siapa saja, dan
bisa diterima oleh siapa saja.
Tangan kosong tidak
membawa ancaman bagi siapapun. Ia polos dan bersahaja. Wakil dari
kesederhanaan. Ia hampa seperti udara. Menjadi bagian tubuh yang tidak perlu
dilindungi. Siapapun tidak akan sungkan mendekat pada tangan yang kosong. Tangan kosong tidak mendatangkan dan mengharapkan penilaian. Tangan
kosong datang tidak sebagaimana tangan yang datang dengan pedang atau bahkan
uang. Pedang dan uang, mengancam dan membuai, tidak pernah bisa jujur
sebagaimana tangan kosong.
Tangan
kosong memang, kadang kala, dalam situasi dan kondisi tertentu, dipaksa harus
memukul, menampar, atau mencekik. Tapi itu adalah keadaan darurat ketika
keputusan cepat harus diambil atas dasar sikap melindungi. Tindakan tangan
kosong tidak akan berlebihan karena tidak ada pedang atau senjata apapun yang
digenggamnya. Tangan kosong bertindak tanpa melebihi batas.Tangan kosong tahu
batas-batas yang tidak boleh diterabasnya.
Bukankah
tangan kosong bisa mencuri atau mengambil apa saja yang bukan haknya? Tangan
yang telah mencuri atau mengambil sesuatu, tidak lagi kosong. Ia telah
terbebani oleh materi yang menjauhkan manusia dari keheningan. Manusia yang
terjauhkan oleh keheningan, dia telah terjebak dalam pusaran kegaduhan. Tangan
kosong menjaga manusia agar tetap hening dalam situasi yang paling gaduh
sekalipun. Bangsa Jawa mengenal istilah “topo ngrame”, atau bertapa dalam
keramaian. Dalam situasi apapun, manusia Jawa harus tetap tenang, tidak “kagetan”
(tidak mudah terkejut) dan tidak “nggumunan” (tidak mudah terpesona). Bersikap
tenang dengan penuh keheningan.
Begitu halnya dengan
udara. Siapapun akan menerima udara. Ia dibutuhkan oleh semua yang hidup maupun
yang mati. Udara adalah sandingan bagi semua makhluk di bumi. Udara mampu
menempatkan dirinya dimana saja, tanpa harus mengalami lupa bahwa ia udara.
Udara memang tidak
terlihat, namun ia dirasakan oleh makhluk. Ia hadir dimanapun makhluk
membutuhkan, tetapi tidak semua makhluk sempat menyadari kehadiran udara. Begitulah
udara, ia hanya menyediakan dirinya bagi kebutuhan makhluk. Dianggap ada atau
tiada tidaklah penting. Dalam keramaian makhluk, udara hadir tanpa harus
menunjukkan siapa dirinya.
Udara menguapkan air dan
membawa awan. Udara menempatkan awan dimana hujan harus diturunkan. Ketika hujan
turun, maka kehidupan baru akan muncul dan menyambung kehidupan selanjutnya.
Terkadang, udara
terlihat seperti marah ketika hadir sebagai topan. Tapi bukan udara yang
berkehendak. Udara hanya mematuhi hukum alam bagaimana alam ini menyeimbangkan
dirinya. Bagaimanapun juga, udara hanya memilih menjadi salah satu penyeimbang
alam tanpa harus terlihat dan disadari oleh makhluk, karena begitulah tujuan
penciptaannya. Bagi udara, pantang untuk menjadi selain udara, karena itu
berarti dia akan menyalahi yang sudah tertulis. Pengingkaran terhadap apa yang
sudah tertulis hanya akan menjadi karib bencana.
Siapa saja, mampu memukul
udara, tapi udara tidak terpukul. Siapa saja bisa menebas udara, tapi udara
tidak tertebas. Siapa saja mampu menusuk udara, tapi udara tidak tertusuk.
Udara tidak akan membalas, karena udara memberikan semua dari dirinya.
Tangan kosong dan udara,
begitulah mereka bersahaja. Memberikan rasa aman dan dibutuhkan semua makhluk.
Mereka adalah dua hal, yang menjadi sanding bagi manusia. Tangan kosong yang
bersahaja dan udara yang menafaskan manusia.
Tangan kosong dan udara,
mereka ada dalam ketenangan, menjelajahi ruang dalam kesepian, dan mengantarkan
manusia di dalam waktu keheningan. Tangan kosong dan udara tidaklah mungkin
terpikat oleh hingar bingar kepandaian.
Tidak akan pernah ada yang mampu memusuhi tangan kosong dan udara. Karena, tangan kosong dan udara tidak akan pernah memusuhi siapapun. Tangan kosong menyampaikan kesahajaan dan udara menyampaikan kerendahhatian. Tangan kosong dan udara, mereka itulah yang akan menjadi Mersudi Patitising Tindak Pusakaning Titising Hening.