"ing sakjeroning sepi kui ono ajaran luhur lan tumindak wicaksono kang dadi pinuju kabecikan-di dalam kerendahan hati itu ada ajaran luhur dan tindakan bijaksana yang menjadi tujuan kebajikan"

Selasa, 22 November 2011

Gaya Hidup Kontemporer (Sebuah Pengantar)

#SZ, Juli 2005
Era kontemporer memposisikan iklan tidak lagi sebagai sarana untuk menawarkan produk, tetapi—yang terpenting—menawarkan sebuah citra akan identitas kekinian yang mampu mengontrol apa yang harus dibeli. Iklan mampu menembus sebuah citra akan identitas kekinian yang mampu mengontrol apa yang harus dibeli. Iklan mampu menembus alam tidak sadar manusia sehingga tanpa proses kritis dan rasional, masyarakat mampu digiring pada sebuah kondisi yang sulit dibedakan antara yang rasional dan irasional, antara fiksi dan fakta, antara yang asli dan imitasi, antara yang nyata dan fatamorgana. Meminjam istilah psikoanalisis sebagai kondisi schizophrenia.

Menjadi tirani audio dan visual dalam keseharian masyarakat, iklan tampil di semua media massa. Iklan, mengutip Sut Jhally dalam karyanya Advertising as Religion: The Dialectic of Tecnology and Magic (1989), bahkan telah mengeser peran agama dalam memberi pengertian tentang kebahagian dan kehormatan diri. Iklan telah menjadi parameter legimitasi trade mark masa ini.

Hiperealitas iklan yang merupakan hasil dari simulasi yang dihadirkan secara kontinyu dengan bantuan perangkat-perangkat media massa menjadikan iklan kehilangan representasi realitas sosialnya. Iklan tidak lagi merujuk pada sebuah realitas apapun, tetapi merujuk pada dirinya sendiri sebagaimana Baudrillard sering mengatakan bahwa hiperealitas-lah yang sekarang menjadi realitasnya. Simulasi hadir dimana-mana, dari wilayah politik praktis, ekonomi, teknologi, bahkan jauh menembus ke wilayah-wilayah yang mungkin tidak terbayangkan pada zaman sebelumnya: ruang tidur. Modernitas memberikan ruang selebar-lebarnya bagi berlangsungnya berbagai simulasi. Pada titik yang sangat ekstrim, siapapun tidak akan sadar bahwa yang sedang terjadi hanyalah sebuah simulasi.

Dunia modern adalah dunia yang penuh kelimpahruahan. Semuanya hadir dalam sebuah sistem yang saling menciptakan ketergantungan satu sama lainnya. Sistem sosial yang layaknya sebuah kontrol terhadap subsistem-subsistemnya. Mode, fashion, mobil, dinner club, adalah lifestyle yang menjadi parameter-parameter yang  merongrong manusia untuk terus menerus mengejarnya. Lifestyle yang merupakan nilai-nilai material telah berhasil menembus dunia ide dan menyatukan manusia dari berbagai ras untuk berpikiran seragam. Apakah sekarang masih ada perbedaan dalam lifestyle antara orang Negro, Eropa, Asia Timur, Asia Barat, Amerika Utara, dan masyarakat Hispanik? Satu-satunya perbedaan hanya dalam tampilan fisik etnis, selebihnya adalah apa yang tampil di media massa.

Fenomena ini menciptakan fakta-fakta sosial yang oleh Emile Durkheim dibedakan dalam tiga karakteristik. Pertama, fakta sosial bersifat eksternal terhadap individu. Hal ini merupakan cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang memperlihatkan sifat patut dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar kesadaran individu. Kedua, bahwa fakta tersebut memaksa individu. Bagi Durkheim, individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh pelbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Selanjutnya, tulis Durkheim, tipe-tipe perilaku atau berfikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri. Ini tidak berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negatif atau membatasi seperti memaksa seseorang untuk berperilaku yang bertentangan dengan kemauannya. Sesungguhnya kalau proses sosialisasi itu berhasil, individu sudah mengendapkan fakta sosial yang cocok sedemikian menyeluruhnya sehingga perintah-perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan dengan kemauan individu.  Ketiga, bahwa fakta sosial itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat. Fakta sosial itu milik bersama dan bukan milik individu. Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya.

    Ketiga karakteristik fakta sosial ini –ekternalitas, paksaan, dan sifat  umum—bagi Durkheim menggambarkan tipe gejala yang menjadi pokok permasalahan dalam sosiologi.  Dalam konteks masyarakat kontemporer, tiga tipologi fakta sosialnya bisa dijadikan pintu masuk untuk menjelaskan budaya massa yang marak di paruh kedua abad duapuluh. Ekternalitas, merupakan kondisi ketika manusia tidak mampu melepaskan diri dari lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial mempunyai dampak yang sulit dihindari oleh individu. Sejalan dengan pemikiran Marx yang mengatakan bahwa manusia dibentuk oleh lingkungan sosialnya, Durkheim menegaskan bahwa manusia juga dibentuk oleh sistem sosialnya. Bahasa, ekonomi, profesionalitas, norma-norma, merupakan faktor-faktor eksternal yang mampu menembus alam tak sadar manusia. Paksaan, adalah bagaimana kemudian tangan-tangan tak terlihat menciptakan sebuah komoditi yang bisa diterima oleh semua kalangan. Kalau di zaman sebelum modern ada pembedaan antara kebudayaan populer dan kebudayaan elit, maka sekarang muncullah apa yang dinamakan sebagai budaya massa. Budaya massa adalah sebuah hasil dari melunturnya batas antara budaya elit dengan budaya popular. Budaya elit yang dimiliki kalangan atas adalah budaya eklusif yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan terbatas. Budaya pop/rakyat merupakan budaya yang tumbuh dari bawah. Ia adalah ekspresi otonom dan spontan rakyat kebanyakan yang dibuat oleh mereka sendiri, dan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri tanpa adanya pengaruh budaya elit (MacDonald,1957:60).  Budaya massa ditumbuhkan dari atas. Ia diproduksi oleh tenaga-tenaga teknis yang diperkerjakan oleh produsen, khalayaknya adalah konsumer-konsumer pasif, dimana partisipasi mereka terbatas pada pilihan membeli atau tidak membeli. Sepertinya manusia memang tidak dipaksa untuk mengkonsumsi, namun ia tidak sadar dengan simulasi tangan-tangan tak terlihat. Seolah-olah manusia tidak dipaksa, namun ia hanya diberi pilihan alternatif dalam mengkonsumsi. “Jika Anda tidak suka Ford, silakan memakai BMW”.  Apa yang dialaminya adalah sebuah hiperealitas dalam ruang simulakrum. Manusia harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar tidak dianggap ketinggalan zaman.  Maka orang beramai-ramai ikut dinner club, main golf, spa, ke salon. Atau ketika rambut Demi Moore tiba-tiba saja sangat populer seiring kesuksesannya membintangi film Ghost di awal dasawarsa 1990-an. Sifat Umum, adalah ketika semuanya menjadi wajar dan bisa diterima semua kalangan. Zaman sekarang, bukan hal yang aneh kalau laki-laki banyak yang suka berdandan, pergi ke salon, mandi lulur. Fenomena cowok metrosexual yang  menggemari jenis  perawatan tubuh seperti, hair care (perawatan rambut), skin care (kulit) yang bertumpu pada wajah, tooth care (gigi), body care (badan), serta hand and foot care (tangan dan kaki). Siapa sangka jika David Beckham, salah satu maestro sepak bola dunia, sering mengecat kuku jarinya dengan warna pink. Beckham, juga sering bertandang ke salon untuk melakukan facial, menicure, pedicure dan berganti potongan rambut. Bahkan, waktu yang diperlukan untuk berdandan jauh lebih lama dari istrinya. Selain itu, mantan kapten tim Manchester United ini juga tidak ragu mengenakan gaun istrinya kala di rumah. Ferry Salim, pemain sinetron sekaligus presenter papan atas di tanah air, selalu melindungi wajahnya dengan pelembab, termasuk krim mata sebelum bepergian. Ia pun mengoleksi parfum botol kecil sampai mencapai sekitar 3.500 botol. Produk-produk kosmetika yang berlabel “For Men” begitu mudah ditemui di toko-toko kosmetik. Dari shampo hingga parfum, dari sabun sampai eyeshadow.

    Gaya hidup merupakan bagian tak terpisahkan dari struktur sosial masyarakat modern. Menjadi sebuah satu kesatuan yang saling menopang dalam dunia modern. Gaya hidup menjadi ciri khas dari masyarakat modern. Manusia modern akan selalu punya lifestyle untuk melakukan tindakan komunikasi yang bersifat pertukaran simbol dengan masyarakatnya. Manusia mengidentifikasikan dirinya dengan perangkat-perangkat simbolik yang menjelaskan status sosial mereka. Modernitas kemudian dipahami sebagai gaya hidup yang menekankan penampilan luar sebagai parameter penilaian terhadap kapasitas manusia. Maka, untuk menjadi manusia  modern diperlukan atribut-atribut yang memberi kesan “kita adalah orang modern”. Modernitas hanya berujung pada sebuah tindakan konsumtif yang tidak produktif. David Chaney menjelaskan bahwa dalam dunia modern gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lainnya. Lebih jauh Chaney menegaskan bahwa: Oleh karena itu, gaya hidup membantu memahami (yakni menjelaskan tapi bukan berarti membenarkan) apa yang orang lakukan, mengapa mereka melakukannya, dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi dirinya maupun orang lain.

     Konsumerisme adalah implikasi lebih lanjut dari gaya hidup masyarakat modern. Proses konsumsi tidak hanya menjadi aktivitas perdagangan yang berdasarkan nilai guna dan nilai tukar. Namun konsumsi bergerak menuju sebuah proses pertukaran simbolik yang menciptakan status-status sosial tertentu. Era pra modern menempatkan perbedaan mencolok antara kaum borjuis dan rakyat jelata dalam hal konsumsi—namun di wilayah politik, hukum, dan lainnya juga. Namun perbedaan mencolok ini berangsur-angsur menghilang seiring terciptanya produksi massal dan murah. Mengutip McKendrik, Chaney menyebutkan tentang masyarakat Inggris abad ke-18 yang menjadi saksi lahirnya suatu masyarakat konsumen dan memfasilitasi suatu revolusi konsumen, dalam proses mengatasi hambatan-hambatan yang “menuntut perubahan sikap dan pemikiran, perubahan dalam kemakmuran dan standar kehidupan, perubahan dalam teknik komersial dan keahlian-keahlian promosi, atau bahkan terkadang perubahan hukum itu sendiri. Selanjutnya Chaney mengutip pendapat McKendrik dalam gaya yang argumentatif sebagai berikut:

Jika seseorang bertanya mengapa Inggris memuncukan preseden dalam revolusi ini, unsur pokok dalam jawaban McKendrik adalah penyebaran yang relatif sempit struktur sosial kontemporer. Pabrik-pabrik baru yang menghasilkan barang-barang konsumsi pada awalnya menjadikan kalangan elit sebagai sasaran, dan dukungan mereka amat penting bagi kreasi fashion populer, tetapi keuntungan yang sangat besar yang diperoleh sesudah itu adalah dengan memasarkan dan mendistribusikan tiruan-tiruan barang-barnag tersebut kepada khlayak umum. Dalam proses pembedaan kasta sosial yang kaku, dalam wajah dan dunia kehidupan yang telah terkungkung oleh konservatisme hukum-hukum kemewahan, di antara faktor-faktor lainnya, masih perlu dirampas kemurniannya. Dalam proses menciptakan peminat dari  berbagai kalangan melalui komersialisasi fashion, periklanan dan teknik-teknik pemasaran lainnya merupakan hal yang sangat penting.
Bukan kebetulan jika kemudian muncullah apa yang disebut sebagai budaya konsumen. Budaya konsumen merupakan sebuah budaya akibat melimpahnya komoditi. Membanjirnya komoditi atau benda-benda konsumsi merupakan sarana yang efektif  bagi manusia modern untuk melepaskan segala hasrat. Pemindahan dari satu kepuasan ke kepuasan lainnya. 
Kelebihan penyediaan benda-benda konsumsi tidak  bisa dianggap  tidak membawa masalah begitu saja. Pada masyarakat barat kontemporer kelebihan persediaan benda-benda konsumsi (benda-beda simbolik) serta tendensi ke arah kekacauan dan de-klasifikasi budaya memunculkan beberapa masalah budaya dan mempunyai implikasi yang lebih luas bagi konseptualisasi tentang hubungan antara budaya, ekonomi, dan masyarakat.
Mike Featherstone membagi budaya konsumen dalam tiga perspektif.  Pertama, budaya konsumen adalah imbas dari perkembangan pesat kapitalisme. Kedua, dalam perspektif sosiologis penggunaan benda-benda konsumsi menunjukkan pembedaan status sosial dan gaya hidup. Ketiga, merupakan  hasrat-hasrat berkonsumsi dan estetika.
Dalam perspektif ilmu ekonomi klasik, objek dari semua produksi adalah konsumsi melalui pemaksimalan kepuasaan konsumen dengan pembeliaan berbagai benda-benda konsumsi. Namun dari paradigma penganut neo-Marxist abad duapuluh (Sekolah Frankfurt), perkembangan ini dipandang sebagai situasi ke arah konsumsi massal yang terkendali dan dapat dimanipulasi. Perkembangan pesat produksi kapitalis terutama setelah pergantian ke abad duapuluh dan perluasan pasar dalam bentuknya  yang  ekpansif, memandang perlunya melakukan “pendidikan publik” melalui periklanan dan media yang lain agar menjadi konsumen.
Horkheimer dan Adorno berpendapat bahwa logika komoditas yang sama serta perwujudan rasionalitas instrumental dalam lingkup produksi tampak nyata dalam lingkup konsumsi. Pencarian waktu luang, seni dan budaya, secara umum tersaring  melalui industri budaya; penerimaan diarahkan oleh nilai tukar karena tujuan yang lebih tinggi, dan nilai-nilai budaya  dikalahkan pada logika proses produksi serta pasar. Nilai-nilai tradisional yang mencakup hubungan kehidupan domestik rumah tangga dan individu, harapan akan kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, pencarian hal-hal yang baru yang sangat berbeda, merupakan hasil dari budaya tinggi yang dimanipulasikan dalam bentuk budaya komoditi semu yang direproduksi secara besar-besaran untuk menghasilkan apa yang disebut  budaya massa.
Mike Featherstone menegaskan dari perspektif ini bahwa akumulasi barang telah mengakibatkan kemenangan nilai tukar, bahwa penghitungan rasional instrumental dari semua aspek kehidupan menjadi muungkin di mana semua perbedaan, tradisi budaya dan kuallitas yang esensial ditransformasikan ke dalam kuantitas (angka).
Pertanyaannya kemudian, apakah ini sekedar merupakan suatu budaya nilai tukar dan penghitungan rasionalitas instrumental? Theodor Adorno, sebagaimana dikutip Featherstone, membahas jika dominasi nilai tukar menghilangkan fungsi dari nilai guna sebuah benda, maka komoditas menjadi bebas untuk mengambil nilai guna sekunder atau nilai guna semu. Sehingga komoditas bebas mengambil berbagai bentuk ilusi-ilusi kebudayaan.

Periklanan secara khusus mampu mengeksploitasi kondisi ini dan memberikan image-image percintaan, eksotika, nafsu, kecantikan, pemenuhan kebutuhan, komunalitas, kemajuan ilmiah serta kehidupan yang lebih baik untuk menyebarkan benda-benda konsumen seperti sabun, mesin cuci, mobil serta minuman-minuman beralkohol.
Daftar Pustaka
Medhy Agintha Hidayat, Kebudayaan Postmodern Menurut Jean Baudrillard, makalah dalam www.itf.itb.ac.id, diakses 10 Juni 2003
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik & Modern, jilid 1, Gramedia, Jakarta, 1994, (terjemahan)
David Chaney, Lifestyle: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif,  Jalasutra, Yogyakarta, 2004, terj
Mike Featherstone, Posmodernisme & Budaya Konsumen, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001
DG Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2001