"ing sakjeroning sepi kui ono ajaran luhur lan tumindak wicaksono kang dadi pinuju kabecikan-di dalam kerendahan hati itu ada ajaran luhur dan tindakan bijaksana yang menjadi tujuan kebajikan"

Senin, 29 Agustus 2011

RUANG PUBLIK & MASYARAKAT YANG KRITIS

#SuciptoZepp(januari2009)

Rakyat berduyun-duyun memadati alun-alun Kota Raja. Di bawah sengatan terik matahari, mereka duduk beralaskan tanah. Hanya diam dan duduk secara teratur. Tidak ada sumpah serapah atau bermacam sepanduk menghujat. Menunggu sang Raja keluar dari tembok keraton.

Ketika rakyat memenuhi alun-alun kota, Raja akan datang menemui mereka. Raja sendiri yang langsung berbicara dengan rakyatnya. Tidak ada juru bicara atau berbagai prosedur protokoler. Raja sendiri yang berbicara di depan rakyatnya. Ikut merasakan panasnya terik matahari di alun-alun kotaraja.

Para kawula ini sedang melakukan pepe. Pepe, dalam tafsir harfiah bahasa Indonesia berarti “berjemur”. Tetapi ini bukan sembarang berjemur. Rakyat “berjemur” untuk meminta keadilan dari sang Raja atau menuntut Raja untuk mendengarkan keluh kesah kesulitan mereka. Bisa juga untuk meminta penjelasan (pertanggungjawaban) dari Raja mengenai kebijakan istana yang dianggap merugikan rakyat.

Dahulu, ketika Majapahit tegak berdiri di sentrum Nusantara, pepe merupakan sarana rakyat untuk berkomunikasi dengan Rajanya. Tradisi ini memang sengaja dijaga untuk menjadi komunikasi politik antara rakyat dan rajanya.

Dewasa ini, proses komunikasi politik mulai membaik seiring tertatanya keseimbangan media. Meskipun jauh dari ideal, proses komunikasi politik secara sehat mulai merangsang kesadaran politis masyarakat. Kontrol masyarakat terhadap realitas lingkungan mulai terbangun seiring perkembangan media massa. Hal yang terpenting adalah semakin terbukanya ruang-ruang publik. Media massa merespon cukup baik dengan perubahan dalam pola komunikasi antara rakyat dengan pemerintah, atau rakyat dengan elemen-elemen rakyat lainnya.

Beberapa media memberikan ruang untuk acara sifatnya interaksi publik. Misalnya JTV dengan acara cangkrukan. Cangkrukan adalah istilah berkumpulnya beberapa orang untuk sekedar mengobrol. Mereka mengumpul disebuah tempat yang biasa disebut cangkruk (baca: pos kamling). Istilah cangkruk ini dipakai di Jawa bagian timur mulai dari Madiun hingga ke Timur Surabaya.

Dalam acara ini, yang dipandu Cak Prio itu, banyak elemen masyarakat yang berkumpul untuk membahas berbagai permasalahan sosial. Mulai dari akademisi, birokrat, teknokrat, rohaniawan, atau elemen masyarakat lainnya.

Perbincangan mengalir secara seimbang. Tidak ada hirarki meskipun yang hadir memiliki latar belakang yang berbeda. Semuanya boleh berpendapat. Asal dengan satu syarat, menggunakan akal sehat. Hanya dengan perbincangan secara akal sehatlah semua permasalah bisa mediasikan—dicari jalan tengahnya, karena tidak selalu permasalahan bisa ditemukan pemecahannya.

Bangsa ini memiliki tradisi rasional dalam penyelesaian kesehariannya. Cangkrukan adalah contoh bagaimana masyarakat menyikapi realitasnya secara akal sehat. Berkumpulnya masyarakat dalam suasana yang sehat secara komunikatif akan berdampak pada kontrol sosial yang sehat pula.
Linear dengan yang terjadi di belahan Eropa pada transisi menuju pencerahan, bangsa ini sudah memiliki sarana yang sama untuk membangun ruang publiknya sendiri. Bukankah cikal bakal lahirnya ruang publik adalah di kedai-kedai kopi Eropa menjelang transisi ke zaman modern.

Di kedai-kedai kopi ini kalangan menengah mengobrol untuk membicarakan bisnis. Lambat laun, pembicaraan mereka mulai beralih ke permasalahan sehari-hari. Permasalahan-permasalahan seputar sosial, politik, dan kekuasaan kemudian menjadi topik perbincangan.

Mulai munculnya kelas saudagar sebagai kekuatan politik baru membuat komposisi sosial berubah secara signifikan. Kelas saudagar yang lebih berpikiran terbuka membuat perimbangan kekuasaan semakin terpecah. Bahkan, kelas saudagar ini, menurut Habermas muncul sebagai Keningratan ke-3. Dua keningratan sebelumnya bahkan semakin goyah legitimasinya ketika Keningratan ke-4 muncul.
Berawal dari perbincangan di kedai-kedai kopi itulah para kaum kelas menengah, saudagar, ilmuwan, jurnalis, mulai menciptakan kondisi kritis di masyarakat. Munculnya media massa membuat kekuatan politik semakin rentan terhadap kritik. Legitimasi semakin sulit didapat dari rakyat seiring kekritisan yang menguat.

Ruang publik adalah elemen penting demi menciptakan masyarakat yang rasional secara komunikatif. Konflik-konflik sosial bahkan bisa diantisipasi jika ruang publik menjalankan fungsinya secara sehat.
Bahkan, kita tidak harus khawatir baik partai politik atau pemilu akan mengganggu kestabilan sosial jika ruang publik terbangun dan bekerja secara sehat. Dan ruang publik akan bekerja secara sehat jika dijaga dengan suasana akal sehat dan egaliter.